DJADIN MEDIA – Puisi “Mati Dalam Sunyi” karya Muhammad Alfariezie menghadirkan narasi tragis tentang sepasang kekasih yang memilih hidup hanya berdua, menolak keterikatan sosial, dan mengabaikan keluarga maupun masyarakat. Dalam dunia puisi ini, cinta dianggap cukup untuk menopang hidup mereka, tetapi justru berakhir dalam kesunyian dan kematian, menampilkan paradoks eksistensial yang khas dari era pascamodern.
Karya ini, meskipun ringkas, dapat dianalisis melalui perspektif postmodernisme — sebuah kerangka sastra yang menolak narasi tunggal dan menekankan fragmentasi makna, dekonstruksi nilai, serta ironi dalam eksistensi manusia. Puisi ini bukan sekadar kisah cinta, melainkan kritik terhadap narasi besar (metanarasi) cinta ideal yang digadang-gadang modernitas.
Teks Puisi “Mati Dalam Sunyi”
Sepasang kekasih mati
dalam sunyi pasca-sepakat
melupakan teman-orang tua
karena memilih hidup berdua
Berdua saja, mereka kira
bahagia menari ombak
bernyanyi karang
Tapi putih pasir pantai
hanya tertanam kelapa
dan mereka marah hingga
saling tujah karena betapa
lapar dan dahaga hidup
hanya berdua
2025
Cinta dan Keruntuhan Metanarasi (Lyotard)
Jean-François Lyotard dalam The Postmodern Condition menyebutkan bahwa era postmodern ditandai dengan “incredulity toward metanarratives” — ketidakpercayaan terhadap narasi besar yang mengklaim kebenaran universal. Puisi ini jelas menantang metanarasi modern tentang cinta sebagai puncak kebahagiaan dan kesempurnaan hidup.
Bait pertama menegaskan keputusan radikal pasangan itu: “melupakan teman-orang tua / karena memilih hidup berdua.” Frasa ini menandakan penolakan terhadap norma sosial, moral, dan keluarga. Pasangan ini menciptakan narasi kecil mereka sendiri, “berdua saja,” yang mereka yakini cukup untuk menampung makna hidup. Namun, sebagaimana dicatat Lyotard, narasi kecil juga rapuh; ketika kebahagiaan tidak hadir, makna pun runtuh, meninggalkan kesunyian sebagai simbol kehancuran makna dalam dunia pascamodern.
Dekonstruksi Romantisme dan Sunyi sebagai Simbol Kekosongan (Derrida)
Jacques Derrida menekankan bahwa makna dalam teks selalu terpecah (différance) dan tidak pernah tunggal. Dalam puisi ini, kata-kata yang tampak romantis seperti “berdua saja” berubah menjadi ironi eksistensial. Sunyi bukan sekadar latar, tetapi konsekuensi dari pilihan eksklusif yang menutup kemungkinan makna lain.
Bait akhir:
“dan mereka marah hingga saling tujah / karena betapa lapar dan dahaga hidup / hanya berdua”
menunjukkan runtuhnya makna cinta. Apa yang dipuja sebagai sesuatu yang luhur ternyata mengandung sisi destruktifnya sendiri — kematian, kekosongan, dan penderitaan. Puisi ini mendekonstruksi romantisme, memperlihatkan bahwa di balik keindahan cinta, tersembunyi kekerasan eksistensial yang tak terhindarkan.
Simulakra dan Realitas Semu (Baudrillard)
Jean Baudrillard berbicara tentang simulakra — realitas yang kehilangan keaslian karena hanya meniru bayangan. Pasangan kekasih dalam puisi ini hidup dalam simulasi cinta: mereka membangun dunia yang meniru ideal cinta, bukan cinta itu sendiri.
“bahagia menari ombak, bernyanyi karang”
merupakan gambaran kebahagiaan semu. Ketika realitas yang keras — lapar, dahaga, keterbatasan — menghampiri, simulasi itu runtuh. Dunia “berdua saja” hanyalah konstruksi semu, bukan kenyataan yang mampu menopang eksistensi mereka. Tragedi di akhir puisi menunjukkan kehancuran simulakra cinta ketika ilusi bertabrakan dengan realitas.
Fragmentasi dan Ketidakhadiran Makna Utuh
Puisi ini secara struktural tidak mengikuti alur linear atau menawarkan resolusi. Identitas dan lokasi tokoh tidak jelas, dan kematian mereka digambarkan secara ambigu. Fragmentasi makna ini mencerminkan karakter postmodern: realitas tercerai-berai, penuh celah, dan tidak memberikan jawaban definitif.
Sunyi menjadi ruang kosong bagi pembaca untuk mengisi makna. Dalam logika postmodern, interpretasi berada di tangan pembaca, bukan pengarang. “Kematian” dalam puisi bisa dimaknai sebagai kegagalan cinta, keterasingan eksistensial, atau metafora isolasi sosial dalam era modern.
Kesimpulan
“Mati Dalam Sunyi (2025)” adalah karya yang merepresentasikan postmodernisme dalam sastra Indonesia kontemporer. Melalui bahasa sederhana namun paradoksal, Muhammad Alfariezie menantang kepercayaan lama tentang cinta, kebahagiaan, dan makna hidup.
Dengan lensa Lyotard, Derrida, dan Baudrillard, puisi ini menegaskan:
- Tidak ada kebenaran tunggal tentang cinta (Lyotard);
- Cinta dapat didekonstruksi menjadi sumber penderitaan (Derrida);
- Dunia cinta yang mereka ciptakan hanyalah simulasi yang rapuh (Baudrillard).
Akhirnya, “Mati Dalam Sunyi” menghadirkan potret manusia pascamodern: terjebak dalam ilusi cinta, kehilangan arah, dan menapaki sunyi dunia yang mereka bentuk sendiri. Puisi ini menjadi refleksi mendalam tentang keterasingan, fragmentasi makna, dan paradoks eksistensial yang melingkupi kehidupan kontemporer.***

