DJADIN MEDIA – Muhammad Farycho Abung, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung, melontarkan kritik pedas terhadap praktik Sugar Group Companies (SGC) di Provinsi Lampung. Menurutnya, SGC tidak hanya menjadi simbol kapitalisme rakus, tetapi juga bertanggung jawab atas perampasan ruang hidup rakyat dan kerusakan lingkungan yang masif.
Farycho merujuk pada berbagai laporan akademik dan temuan Pansus DPRD Tulang Bawang tahun 2017, yang mengungkap pelanggaran serius oleh SGC. “Perusahaan ini menguasai ratusan ribu hektare lahan, termasuk di luar izin Hak Guna Usaha yang sah, bahkan di kawasan hutan, serta melakukan alih fungsi lahan tanpa prosedur legal,” ujarnya.
Lebih jauh, Farycho menilai SGC memanfaatkan kekuatan modal untuk memengaruhi kebijakan publik, membentuk opini yang menguntungkan korporasi, dan menutupi fakta pelanggaran. Padahal, data BPS Lampung menunjukkan masyarakat sekitar konsesi SGC masih hidup dalam kemiskinan di atas rata-rata provinsi.
“Bagaimana mungkin korporasi raksasa yang meraup triliunan rupiah tiap tahun justru beroperasi di tengah masyarakat yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar?” tegas Farycho.
Selain itu, Farycho menyoroti hubungan SGC dengan elite politik dan birokrasi daerah yang menurutnya membentuk lingkaran kekuasaan mematikan ruang kritik. Ia menyinggung figur politik seperti Umar Ahmad, yang dianggapnya menjadi corong pembelaan SGC.
“Pernyataan elite politik yang membela SGC adalah bentuk nyata politik dagang sapi, menggadaikan kepentingan rakyat demi modal. Ini wajah telanjang oligarki di Lampung,” ujarnya.
Farycho juga menyinggung pengakuan Zarof dalam persidangan beberapa bulan lalu, yang menurutnya seharusnya menjadi peringatan bagi para elite politik untuk tidak lagi melindungi kepentingan korporasi.
Dengan tegas, Farycho mengajak publik melek terhadap upaya sistematis SGC bersama aktor politik untuk membungkam kritik, termasuk pembentukan opini menyesatkan, kriminalisasi warga, hingga intimidasi terhadap mahasiswa dan masyarakat sipil.
“Kita menyaksikan upaya sistematis menutup mulut warga dan mahasiswa yang bersuara, sementara kerusakan lingkungan dan ketimpangan ekonomi terus dibiarkan,” katanya.
Farycho menegaskan bahwa kritik terhadap SGC bukan gerakan anti-investasi, tetapi perjuangan menegakkan keadilan sosial dan ekologis. Ia mengimbau mahasiswa, akademisi, dan masyarakat untuk mendorong pemerintah membuka dokumen perizinan, laporan audit lingkungan, dan hasil investigasi Pansus DPRD.
“Tidak ada demokrasi sejati tanpa keberanian mengungkap kebenaran, dan tidak ada pembangunan yang layak disebut maju jika dibangun di atas penderitaan rakyat dan kerusakan bumi. SGC harus dihadapkan pada hukum, bukan dilindungi politik dagang sapi,” tutup Farycho.***