DJADIN MEDIA- Paul Munster mungkin sedang mengalami minggu yang penuh tekanan pada pertengahan Agustus 2025. Pelatih asal Irlandia Utara yang kini menukangi Bhayangkara Presisi Lampung FC itu menghadapi rentetan hasil yang belum memuaskan, sekaligus dihantui kabar buruk dari klub favoritnya, Manchester United.
Bhayangkara Presisi Lampung FC, klub baru kebanggaan masyarakat Lampung yang musim ini tampil di kancah Super League, hanya mampu meraih satu poin dari dua pertandingan awal. Pada laga perdana mereka di Stadion Way Halim, Bandar Lampung, Sabtu 16 Agustus 2025, tim berjuluk The Guardian Lampung itu hanya mampu bermain imbang melawan PSM Makassar. Hasil tersebut memang memberi sedikit harapan, sebab laga itu sekaligus menjadi debut kandang klub di hadapan ribuan suporter yang memenuhi tribun. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.
Dalam pertandingan pembuka Super League di Kalimantan, Bhayangkara Presisi Lampung FC harus mengakui keunggulan Borneo FC. Kekalahan ini langsung membuat posisi mereka terperosok ke papan bawah klasemen sementara. Padahal, secara finansial dan kualitas rekrutan pemain, Bhayangkara termasuk salah satu tim yang cukup menjanjikan. Harapan besar publik Lampung agar tim ini bisa segera bersaing di papan atas tampaknya belum dapat diwujudkan dalam waktu dekat.
Di luar tekanan hasil pertandingan, Paul Munster rupanya juga dihantui kabar lain yang membuat suasana hatinya semakin muram. Manchester United, klub yang dikaguminya sejak lama, harus menelan kekalahan dari Arsenal pada akhir pekan. Kekalahan tersebut terasa ironis karena sehari sebelumnya, dalam konferensi pers jelang laga kontra PSM, Munster sempat menegaskan ketidaksukaannya pada Arsenal dan Mikel Arteta. “Saya tidak suka Arsenal, saya tidak peduli Arteta,” ujarnya kala itu, ketika seorang jurnalis menyinggung perbandingan dirinya dengan Arteta yang sama-sama pelatih muda Eropa dengan usia sebaya.
Komentar itu kini menjadi sorotan. Sebagian penggemar bahkan mulai membandingkan gaya kepelatihan Munster dengan Arteta. Ada yang menilai Munster sebaiknya mengadaptasi filosofi permainan adaptif ala Arsenal yang sedang naik daun. Namun, tidak sedikit pula yang mempertanyakan apakah Munster justru lebih memilih gaya permainan reaktif seperti yang beberapa kali ditampilkan Bhayangkara di awal musim.
Kondisi ini membuat Munster berada di persimpangan. Di satu sisi, ia harus segera membangkitkan timnya dari papan bawah agar kepercayaan suporter tetap terjaga. Di sisi lain, tekanan publik semakin besar setelah Manchester United yang menjadi klub favoritnya justru tumbang di tangan rival yang ia sebut tidak disukainya.
Dengan segala modal finansial dan pemain yang cukup berkualitas, Bhayangkara Presisi Lampung FC sejatinya punya peluang besar untuk bangkit. Namun, publik Lampung kini menunggu sejauh mana Munster mampu membuktikan kualitasnya sebagai pelatih muda Eropa. Apakah ia akan mengikuti jejak sukses pelatih seusianya, atau justru terjebak dalam bayangan kegalauan yang datang bertubi-tubi?***