DJADIN MEDIA- Puisi karya Muhammad Alfariezie yang berjudul “Remaja Itu Tidak Pernah Mati, Hanya Bersembunyi” menghadirkan perspektif baru dalam memahami pengalaman remaja. Alih-alih menempatkan remaja sebagai fase biologis atau kronologis semata, Alfariezie memandangnya sebagai kategori afektif—sebuah reservoir emosi yang tetap tersimpan, laten, dan dapat diakses kembali kapan saja melalui pemicu-pemicu emosional. Puisi ini menegaskan bahwa pengalaman vitalitas, gairah, dan sensitivitas yang melekat pada masa muda tidak benar-benar hilang, melainkan terselubung di balik rutinitas kedewasaan.
Puisi ini dibuka dengan bait yang intim dan penuh gairah:
Remaja Itu Tidak Pernah Mati
Hanya Bersembunyi
Senyum yang menggairahkan! Selalu
melihatmu tersenyum, saya merasa
remaja
Apa yang membuatmu
berkharisma? Mustahil hanya
berolahraga atau sebab biasa, yakni
tulus mencinta
Musykil juga sekalipun kamu enggak
pernah sedih, sebab pernah menangis
ketika hari raya, kita hanya di rumah
Apa yang membuatmu ranum melulu
hingga saya bergairah remaja, terlalu
Jika mereka enggak iri kepadamu
2025
Lewat diksi yang memadukan intimasi, nostalgia, dan sensualitas tersublimasi, Alfariezie menjadikan remaja sebagai modus eksistensi, bukan sekadar memori temporal. Kata-kata seperti “ranum”, “menggairahkan”, dan frase “saya merasa remaja” menegaskan kembali bahwa libido dan gairah tidak diartikulasikan secara erotik, tetapi disublimasikan menjadi pengalaman afektif dan rindu eksistensial. Senyum dan kehadiran menjadi stimulus eksternal yang memicu regresi estetis, membawa subjek kembali ke ruang psikis masa muda.
Puisi ini juga menyoroti kehidupan domestik sederhana sebagai panggung emosi. Fragmen “ketika hari raya, kita hanya di rumah” menunjukkan bahwa intimitas sunyi lebih bermakna daripada euforia sosial. Hal ini menekankan dimensi realisme afektif: nostalgia tidak mengidealisasi masa lalu, tetapi menunjukkan kesedihan kecil yang justru membangun kehangatan emosional. Dengan cara ini, Alfariezie menolak pandangan remaja sebagai euforia vulgar atau kegembiraan superfisial; sebaliknya, ia menghadirkan spontanitas, kepekaan, dan kerentanan yang belum terkikis oleh dunia dewasa.
Dari sisi struktural, puisi ini memanfaatkan enjambemen fragmentaris dan diksi campuran formal-vernakular seperti “musykil” dan “enggak”. Teknik ini menciptakan ketegangan yang kontras antara refleksi dewasa dan impuls remaja yang spontan. Struktur patah dan jeda frasa juga merefleksikan ketidakteraturan emosional, yang justru menegaskan autentisitas pengalaman afektif. Hal ini menunjukkan bahwa puisi bukan hanya medium estetik, tetapi juga alat analisis psikologis, yang menelusuri bagaimana emosi tersimpan, muncul, dan bersirkulasi dalam kesadaran individu.
Secara antropologis dan psikologis, puisi ini menegaskan tesis bahwa remaja adalah struktur afeksi yang terendap dalam diri subjek, dan dapat muncul kembali melalui pemicu emosional yang sederhana namun kuat. Alfariezie menolak paradigma waktu linier yang mendefinisikan remaja hanya melalui usia; sebaliknya, ia menawarkan konsep waktu afektif yang bersirkulasi. Kedewasaan bukan berarti kehilangan spontanitas atau sensitivitas; ia hanyalah lapisan yang menutupi pengalaman vital masa muda.
Selain itu, puisi ini juga berperan sebagai kritik halus terhadap konstruksi kedewasaan yang kerap menekan ekspresi emosional. Dengan menyoroti pengalaman remaja yang laten, Alfariezie menunjukkan bahwa kemanusiaan tidak boleh menjadi kering, bahwa cinta tidak menua, dan bahwa memori emosional tidak tunduk pada kalender. Ia menghadirkan remaja sebagai eksistensi yang terus hidup di dalam diri manusia, siap untuk muncul kembali setiap kali tersentuh oleh pengalaman atau rasa yang relevan.
Puisi Muhammad Alfariezie, dengan begitu, tidak hanya menjadi karya sastra yang indah dan menyentuh, tetapi juga dokumen reflektif tentang psikologi, antropologi, dan eksistensi manusia. Ia menantang pembaca untuk mengingat, merasakan, dan mengalami kembali kepekaan masa muda, menyadarkan bahwa remaja tidak pernah benar-benar mati—hanya menunggu untuk ditemukan kembali dalam dimensi afektif setiap individu.***

