• Biolink
  • Djadin Media
  • Network
  • Sample Page
Saturday, November 8, 2025
  • Login
Djadin Media
  • Beranda
  • Daerah
  • Ekonomi & Bisnis
  • Hiburan
  • Lifestyle
  • Otomotif
  • Politik
  • Teknologi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Daerah
  • Ekonomi & Bisnis
  • Hiburan
  • Lifestyle
  • Otomotif
  • Politik
  • Teknologi
No Result
View All Result
Djadin Media
No Result
View All Result
Home Daerah

Modus Eksistensi dalam Puisi Muhammad Alfariezie: Remaja Itu Tidak Pernah Mati, Hanya Bersembunyi

MeldabyMelda
November 3, 2025
in Daerah
0
Modus Eksistensi dalam Puisi Muhammad Alfariezie: Remaja Itu Tidak Pernah Mati, Hanya Bersembunyi

DJADIN MEDIA- Puisi karya Muhammad Alfariezie yang berjudul “Remaja Itu Tidak Pernah Mati, Hanya Bersembunyi” menghadirkan perspektif baru dalam memahami pengalaman remaja. Alih-alih menempatkan remaja sebagai fase biologis atau kronologis semata, Alfariezie memandangnya sebagai kategori afektif—sebuah reservoir emosi yang tetap tersimpan, laten, dan dapat diakses kembali kapan saja melalui pemicu-pemicu emosional. Puisi ini menegaskan bahwa pengalaman vitalitas, gairah, dan sensitivitas yang melekat pada masa muda tidak benar-benar hilang, melainkan terselubung di balik rutinitas kedewasaan.

Puisi ini dibuka dengan bait yang intim dan penuh gairah:

Remaja Itu Tidak Pernah Mati
Hanya Bersembunyi

Senyum yang menggairahkan! Selalu
melihatmu tersenyum, saya merasa
remaja

Apa yang membuatmu
berkharisma? Mustahil hanya
berolahraga atau sebab biasa, yakni
tulus mencinta

Musykil juga sekalipun kamu enggak
pernah sedih, sebab pernah menangis
ketika hari raya, kita hanya di rumah

Apa yang membuatmu ranum melulu
hingga saya bergairah remaja, terlalu

Jika mereka enggak iri kepadamu

2025

Lewat diksi yang memadukan intimasi, nostalgia, dan sensualitas tersublimasi, Alfariezie menjadikan remaja sebagai modus eksistensi, bukan sekadar memori temporal. Kata-kata seperti “ranum”, “menggairahkan”, dan frase “saya merasa remaja” menegaskan kembali bahwa libido dan gairah tidak diartikulasikan secara erotik, tetapi disublimasikan menjadi pengalaman afektif dan rindu eksistensial. Senyum dan kehadiran menjadi stimulus eksternal yang memicu regresi estetis, membawa subjek kembali ke ruang psikis masa muda.

Puisi ini juga menyoroti kehidupan domestik sederhana sebagai panggung emosi. Fragmen “ketika hari raya, kita hanya di rumah” menunjukkan bahwa intimitas sunyi lebih bermakna daripada euforia sosial. Hal ini menekankan dimensi realisme afektif: nostalgia tidak mengidealisasi masa lalu, tetapi menunjukkan kesedihan kecil yang justru membangun kehangatan emosional. Dengan cara ini, Alfariezie menolak pandangan remaja sebagai euforia vulgar atau kegembiraan superfisial; sebaliknya, ia menghadirkan spontanitas, kepekaan, dan kerentanan yang belum terkikis oleh dunia dewasa.

Dari sisi struktural, puisi ini memanfaatkan enjambemen fragmentaris dan diksi campuran formal-vernakular seperti “musykil” dan “enggak”. Teknik ini menciptakan ketegangan yang kontras antara refleksi dewasa dan impuls remaja yang spontan. Struktur patah dan jeda frasa juga merefleksikan ketidakteraturan emosional, yang justru menegaskan autentisitas pengalaman afektif. Hal ini menunjukkan bahwa puisi bukan hanya medium estetik, tetapi juga alat analisis psikologis, yang menelusuri bagaimana emosi tersimpan, muncul, dan bersirkulasi dalam kesadaran individu.

Secara antropologis dan psikologis, puisi ini menegaskan tesis bahwa remaja adalah struktur afeksi yang terendap dalam diri subjek, dan dapat muncul kembali melalui pemicu emosional yang sederhana namun kuat. Alfariezie menolak paradigma waktu linier yang mendefinisikan remaja hanya melalui usia; sebaliknya, ia menawarkan konsep waktu afektif yang bersirkulasi. Kedewasaan bukan berarti kehilangan spontanitas atau sensitivitas; ia hanyalah lapisan yang menutupi pengalaman vital masa muda.

Selain itu, puisi ini juga berperan sebagai kritik halus terhadap konstruksi kedewasaan yang kerap menekan ekspresi emosional. Dengan menyoroti pengalaman remaja yang laten, Alfariezie menunjukkan bahwa kemanusiaan tidak boleh menjadi kering, bahwa cinta tidak menua, dan bahwa memori emosional tidak tunduk pada kalender. Ia menghadirkan remaja sebagai eksistensi yang terus hidup di dalam diri manusia, siap untuk muncul kembali setiap kali tersentuh oleh pengalaman atau rasa yang relevan.

Puisi Muhammad Alfariezie, dengan begitu, tidak hanya menjadi karya sastra yang indah dan menyentuh, tetapi juga dokumen reflektif tentang psikologi, antropologi, dan eksistensi manusia. Ia menantang pembaca untuk mengingat, merasakan, dan mengalami kembali kepekaan masa muda, menyadarkan bahwa remaja tidak pernah benar-benar mati—hanya menunggu untuk ditemukan kembali dalam dimensi afektif setiap individu.***

Source: ALFARIEZIE
Tags: karyaMudaLiteraturIndonesiaMuhammadAlfariezieNostalgiaEmosionalPuisiRemajaSastraKontemporer
Previous Post

Benfica Berani Taruhan! Jose Mourinho Andalkan Tiga Bintang Muda untuk Kembalikan Magis Liga Champions

Next Post

Lampung Selatan Jadi Tuan Rumah Puncak BBKT & HUT ke-65 Karang Taruna, Semarakkan Semangat Generasi Muda

Next Post
Lampung Selatan Jadi Tuan Rumah Puncak BBKT & HUT ke-65 Karang Taruna, Semarakkan Semangat Generasi Muda

Lampung Selatan Jadi Tuan Rumah Puncak BBKT & HUT ke-65 Karang Taruna, Semarakkan Semangat Generasi Muda

Facebook Twitter

Alamat Kantor

Perumahan Bukit Billabong Jaya Blok C6 No. 8,
Langkapura, Bandar Lampung
Email Redaksi : lampunginsider@gmail.com
Nomor WA/HP : 081379896119

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Daerah
  • Ekonomi & Bisnis
  • Hiburan
  • Lifestyle
  • Otomotif
  • Politik
  • Teknologi

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In