Judul:
Muhammad Alfariezie Guncang Dunia Sastra: “Anak Didik Tanpa Negara” Bongkar Krisis Moral Pendidikan dan Kekuasaan Daerah
Bandar Lampung — Puisi “Anak Didik Tanpa Negara” karya penyair muda asal Bandar Lampung, Muhammad Alfariezie, menjadi sorotan publik karena berhasil menghadirkan kritik tajam terhadap krisis moral dan ketimpangan dalam dunia pendidikan serta praktik kekuasaan di tingkat daerah. Dengan gaya satir yang lugas dan nada protes yang kuat, Alfariezie menyingkap bagaimana penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik berdampak langsung pada generasi muda, yang seharusnya menjadi prioritas pembangunan bangsa.
Karya ini tidak sekadar ekspresi individual penyair, melainkan juga cermin realitas sosial-politik yang membentuk kehidupan pendidikan di Lampung. Dari perspektif sosiologi sastra, puisi ini memperlihatkan fungsi sosial sastra sebagai sarana kritik, refleksi, dan edukasi publik, yang menyoroti relasi kuasa antara pejabat, negara, dan rakyat kecil.
Potret Sosial dalam Puisi
Dalam puisi ini, Alfariezie menulis:
Tiap mendengar pendidikan,
saya terkenang pelanggar
undang-undang. Dia wali kota
selama hidup, saya takkan lupa
Baris ini membuka narasi puisi dengan sindiran keras terhadap pejabat publik yang menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, mengabaikan tanggung jawab negara terhadap anak didik. Seluruh karya memproyeksikan ketidakadilan struktural dan kegagalan negara dalam melindungi hak-hak pendidikan masyarakat.
Baris selanjutnya:
Dia pikir negara ini milik
keluarga dan semua warga
bodoh semua
menggambarkan arogansi elit politik dan perasaan ketidakberdayaan warga yang menjadi korban kebijakan yang timpang. Selain itu, kalimat:
Bukan hanya anggaran dan aset
negara ancamannya tapi murid
yang bisa gagal tak berijazah
menekankan dimensi kemanusiaan dari kritik Alfariezie. Pendidikan, hak dasar setiap warga, justru dirampas oleh kekuasaan yang salah arah.
Analisis Sosiologi Sastra
Menurut teori sosiologi sastra (Wellek & Warren, 1956), sastra merupakan hasil interaksi antara kreativitas individu dan kondisi sosial masyarakatnya. Dalam konteks ini, “Anak Didik Tanpa Negara” merepresentasikan fungsi sosial sastra sebagai alat kritik moral dan politik. Puisi ini menjadi ruang perlawanan simbolis, menegaskan bahwa karya sastra dapat menjadi media untuk mengungkap ketimpangan sosial dan ketidakadilan.
Tokoh wali kota dalam puisi bukan sekadar individu, tetapi simbol sistem kekuasaan lokal yang korup dan lalai. Sindiran seperti “Dia pikir negara ini milik keluarga” mempertegas kritik terhadap pejabat yang memperlakukan publik sebagai objek manipulasi, bukan subjek pembangunan. Dengan demikian, karya ini menggabungkan analisis politik, sosial, dan moral dalam satu bingkai sastra.
Gaya Bahasa dan Diksi Realistis
Muhammad Alfariezie menggunakan realisme satir dengan diksi yang tegas dan langsung. Kata-kata administratif seperti “pelanggar undang-undang, wali kota, anggaran kota, ijazah” dipilih untuk memperkuat realitas sosial-politik yang dikritik. Tidak ada metafora rumit atau simbolisme yang abstrak; pesan protes disampaikan secara lugas agar pembaca dapat langsung menangkap dimensi moral, sosial, dan politik dari karya ini.
Gaya bahasa ini memperlihatkan bahwa Alfariezie menekankan puisi sebagai dokumen moral zaman, yang merekam penyimpangan dalam tata kelola pendidikan dan perilaku pejabat publik. Dengan realisme satir, puisi ini bukan sekadar estetika, tetapi juga alat pembelajaran kritis sosial bagi masyarakat.
Fungsi Sosial dan Moral
Puisi ini menegaskan fungsi sosial-transformasional sastra. Alfariezie menempatkan diri sebagai saksi moral yang menyalurkan suara mereka yang tidak terdengar — anak didik yang menjadi korban ketimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Judul “Anak Didik Tanpa Negara” menjadi simbol kuat hilangnya tanggung jawab negara terhadap generasi penerus, sekaligus peringatan terhadap konsekuensi moral dari kekuasaan tanpa integritas.
Relevansi dan Inspirasi
Karya ini juga menjadi sumber inspirasi bagi akademisi, mahasiswa, dan aktivis sosial untuk mengkritisi kebijakan publik melalui medium seni. Selain nilai estetis, puisi ini memiliki nilai pedagogis, mengajarkan masyarakat tentang pentingnya integritas, transparansi, dan keadilan dalam pendidikan.
Kesimpulan
Puisi “Anak Didik Tanpa Negara” karya Muhammad Alfariezie merupakan gabungan antara kritik sosial, moral, dan politik yang disampaikan melalui medium sastra. Dengan bahasa realisme satir dan diksi yang lugas, penyair berhasil menyuarakan keresahan publik terhadap penyalahgunaan kekuasaan dalam pendidikan. Karya ini mengajak pembaca untuk berpikir kritis tentang tanggung jawab negara, peran pejabat publik, dan hak-hak generasi muda, sekaligus memperkuat posisi sastra sebagai alat kesadaran sosial dan moral di masyarakat.***

