DJADIN MEDIA– Muhammad Alfariezie, penyair muda asal Bandar Lampung, kembali mencuri perhatian publik melalui puisinya berjudul Menggapai Jodoh Tuhan. Karya ini menampilkan refleksi teologis yang lahir dari pengalaman eksistensial, mengajak pembaca untuk meninjau ulang pemahaman mereka tentang doa, takdir, dan spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari.
Alfariezie tidak sekadar menulis puisi tentang jodoh atau pasangan hidup. Ia menghadirkan ruang dialog teologis yang halus namun kritis. Di awal puisi, ia menulis: “Dari ingin yang enggak pernah sampai, apakah Tuhan ingin selalu kita menggapai?” Baris ini menantang pembaca untuk memikirkan perbedaan antara objek doa—apa yang diminta—dan subjek doa—siapa yang memohon. Puisi ini menekankan bahwa seringkali manusia lebih fokus pada hasil doa daripada pada transformasi diri melalui doa itu sendiri.
Salah satu aspek menarik dari puisi ini adalah kritik terhadap spiritualitas yang terjebak materialisme. Kalimat seperti “jodohmu harus dia yang berkendara Toyota” bukan sekadar humor, tetapi metafora yang menyoroti bagaimana manusia mengaitkan doa dengan pencapaian material. Alfariezie menunjukkan bahwa keberhasilan materi bukan hadiah instan dari doa, melainkan hasil dari etos kerja, ketekunan, dan usaha manusia: “memohonlah jodohmu orang yang tidak pernah menyerah sehingga sanggup membeli mobil mewah.”
Selain itu, puisi ini menekankan bahwa Tuhan bukan sekadar pemenuh permintaan instan. Tuhan digambarkan sebagai Maha Pemberi dan Maha Penyayang yang membimbing manusia melalui pengalaman, kegagalan, dan proses kehidupan. Dengan pendekatan ini, Alfariezie menegaskan pentingnya ikhtiar dan usaha yang seimbang dengan doa. Doa sejati, menurut puisi ini, adalah sarana transformasi subjek, bukan sekadar alat mendapatkan hasil instan.
Metafora alam juga menjadi kunci dalam penutup puisi: “Tuhan tidak hanya mencipta satu bunga maka kupu-kupu bebas berusaha.” Baris ini mengilustrasikan teologi kebebasan, di mana Tuhan menyediakan banyak kemungkinan, sementara manusia memiliki tanggung jawab untuk memilih dan berjuang. Takdir bukan garis mati yang ditentukan sepihak, melainkan ruang pilihan yang memberi peluang bagi manusia untuk menemukan perjumpaan yang bermakna dengan orang lain.
Secara keseluruhan, Menggapai Jodoh Tuhan menempatkan Alfariezie sebagai penyair muda yang mampu menyatukan refleksi religius dengan kritik sosial dan eksistensial. Puisi ini mengajak pembaca untuk memahami doa bukan sebagai jalan pintas, melainkan sebagai proses transformasi diri. Ia juga menyoroti kecenderungan manusia dalam menyakralkan keinginan material, sambil tetap menekankan pentingnya usaha, kesabaran, dan pertumbuhan pribadi. Dalam konteks kehidupan urban modern, puisi ini relevan sebagai pengingat bahwa hubungan manusia dengan Tuhan dan sesamanya dibentuk melalui proses, pilihan, dan tanggung jawab pribadi.***

