DJADIN MEDIA- Panjang sekali ingatan saya tentang Muhammad Harya Ramdhoni Julizarsyah. Ia bukan sekadar sosok yang saya kenal, tapi juga jembatan yang menghubungkan saya dengan begitu banyak orang, peristiwa, dan perjalanan panjang lebih dari setengah abad hidup saya.
Sosok Pemimpin Sejak Bangku Sekolah
Tahun 1998, saya pulang ke kampung halaman dan menjadi guru di SMAN 1 Liwa setelah sempat merasakan penurunan semangat sebagai wartawan. Mengajar, bagi saya, adalah pengalaman yang menyenangkan—hingga sebuah demonstrasi siswa terjadi.
Di antara riuh protes kala itu, ada nama yang disebut sebagai pemimpin aksi: Doni! Seorang siswa kelas dua, anak pejabat di Pemkab Lampung Barat. Siapa sangka, nama itu akan terus terjalin dalam kisah panjang hidup saya.
Perkenalan dengan Doni Sang Pengarang
Lompatan waktu membawa saya ke tahun 2009, saat Galih Priadi memperkenalkan saya pada sosok Harya Ramdhoni yang akrab dipanggil Doni. Kami berbincang tentang sastra di rumah saya di Kurungan Nyawa, Pesawaran. Doni bercerita tentang kecintaannya pada sejarah dan keinginannya menulis novel berlatar Kerajaan Sekala Brak.
Saya menyambutnya dengan biasa saja—terlalu banyak orang bercita-cita menjadi pengarang, tapi tak benar-benar menulis. Namun, perbincangan kami berlanjut pada fakta bahwa Doni berasal dari Liwa, satu marga dengan saya.
Setelah menikah, ia di-tetah-kan sebagai Suntan Pangeran Indrapati Cakranegara VII, Sai Batin Marga Liwa. Namun, bagi saya saat itu, ia adalah cucu tertua mantan Camat Balik Bukit Abdul Muis, anak dari Chairul Muluk, seorang dokter yang pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Kesehatan Lampung Barat.
Lahirnya Karya Besar: Perempuan Penunggang Harimau
Tahun 2010, saya, Doni, dan Y Wibowo bersepakat menerbitkan novel sejarah yang digarapnya. Novel ini ditulisnya di sela-sela studinya di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Hasilnya, lahirlah novel Perempuan Penunggang Harimau (BE Press, 2011), yang mendapat apresiasi luar biasa dalam peluncurannya di Lampung Post, dengan pembahas Binhad Nurrohmat dan Djadjat Sudradjat.
Doni merencanakan novel ini sebagai pentalogi, namun entah mengapa ia tak kunjung melanjutkannya. Alih-alih menulis kelanjutannya, ia justru menerbitkan berbagai karya lain, termasuk:
- Hikayat Orang-Orang yang Berjalan di Atas Air (2012)
- Murah Delima Bang Amat (2017)
- Sihir Lelaki Gunung (2018)
- Kitab Pernong (2021)
- Semilau (2017) – pemenang Hadiah Sastra Rancagé 2018 untuk kategori puisi bahasa Lampung
Dosen, Politisi, dan Pilihan Hidup yang Mengejutkan
Lahir di Solo, 15 Juli 1981, Doni sebenarnya adalah dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung (Unila). Tapi ia jarang menulis tentang politik, bahkan menolak diwawancarai wartawan soal itu.
Keputusan paling mengejutkan datang pada 1 April 2018, ketika ia mengundurkan diri sebagai PNS setelah lebih dari satu dekade mengajar. Semua itu ia tinggalkan demi terjun ke politik bersama Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Kabar Kepergian yang Mengejutkan
Sejak 2022, Doni tiba-tiba menghilang dari media sosial. Tak ada kabar, tak ada jejak. Hingga pada 19 Maret 2025, sebuah berita duka menyeruak di malam hari:
💬 “Innalillahi wainnailaihi rajiun.”
Doni berpulang pada pukul 19.32 WIB, meninggalkan banyak pertanyaan dan kenangan.
Rekan-rekan sastrawan seperti Rilda A Oe Taneko di Inggris, serta Evit Wong Setiawan, pelukis sampul Perempuan Penunggang Harimau, turut mengungkapkan duka.
💬 “Baru beberapa bulan lalu dia bilang novelnya mau terbit lagi. Selamat jalan, brother. Saya bersaksi engkau orang baik. Al-Fatihah.”
Selamat Jalan, Bung Doni
Kami akan selalu mengenangmu. Karyamu akan terus hidup dan menjadi ladang amal yang insya Allah mengalir sebagai bekal terbaik menuju keabadian.
Selamat jalan, Bung Doni.***