DJADIN MEDIA— Alih-alih jadi solusi bagi pendidikan warga prasejahtera, kebijakan Pemerintah Kota Bandar Lampung terkait pendirian SMA Siger 1-4 justru menuai polemik dan dugaan pelanggaran serius terhadap regulasi pendidikan nasional.
Gagasan sekolah gratis yang digaungkan Wali Kota Eva Dwiana melalui program Sekolah Siger kini dipertanyakan legalitasnya, menyusul dugaan pelanggaran terhadap Permendikdasmen Nomor 1 Tahun 2025 tentang Redistribusi Guru ASN.
Berdasarkan aturan tersebut, satuan pendidikan yang dikelola masyarakat—termasuk sekolah swasta seperti SMA Siger—harus memenuhi berbagai kriteria sebelum bisa menerima guru berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun, kenyataan di lapangan justru memperlihatkan sejumlah kejanggalan.
Hingga pertengahan Juli 2025, legalitas izin operasional Sekolah Siger belum terdata di Dinas Pendidikan Provinsi Lampung. Namun, sekolah-sekolah tersebut telah menerima lebih dari 50 siswa baru dan bahkan menempatkan beberapa kepala SMP Negeri sebagai wakil kepala sekolah di bawah naungan yayasan yang belum jelas struktur dan keberadaannya.
Wajah KKN di Balik Seragam Gratis?
Yang makin memperkeruh situasi adalah peran aktif beberapa kepala SMP Negeri—seperti SMPN 38, 39, 44, dan 45—yang secara administratif turut mengelola SMA Siger meski lembaga ini belum memiliki bangunan sendiri. Ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah Pemkot sengaja menggunakan infrastruktur negara untuk menopang lembaga pendidikan yang belum legal?
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, Thomas Americo, saat dikonfirmasi melalui WhatsApp pada Jumat malam (18/7/2025) menjelaskan bahwa redistribusi guru ASN memang harus dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kelangsungan pendidikan di sekolah swasta yang telah lama berdiri.
Namun, bagaimana dengan guru-guru PNS aktif yang justru dialokasikan ke sekolah yang izinnya belum lengkap?
Permendikdasmen secara tegas menetapkan bahwa sekolah swasta yang menerima guru ASN harus:
- Memiliki izin operasional dari pemda,
- Terdaftar di Dapodik minimal 3 tahun,
- Melaksanakan kurikulum nasional,
- Memiliki murid dengan rombongan belajar yang sah,
- Tidak menolak dana BOS, serta
- Punya anggaran yang tidak mencukupi operasional secara mandiri.
Ironisnya, SMA Siger nyaris melanggar seluruh poin tersebut.
Arah Pendidikan yang Membingungkan
Hingga saat ini, Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di SMA Siger belum digelar. Jadwal kegiatan belajar mengajar juga belum dipublikasikan secara resmi. Sementara itu, wali murid dari kalangan prasejahtera masih menunggu kepastian nasib anak-anak mereka.
Kondisi ini membuat masyarakat dan kalangan pemerhati pendidikan mempertanyakan arah kebijakan Pemkot Bandar Lampung. Apakah benar program Sekolah Siger murni untuk keadilan pendidikan, atau justru menjadi celah bagi praktik KKN berkedok sosial?
“Rakyat prasejahtera tidak boleh dijadikan alasan untuk melanggar konstitusi dan merusak tatanan pendidikan,” ujar salah satu aktivis pendidikan yang menolak disebutkan namanya.
Pihak redaksi Bandarlampung_PikiranRakyat telah menghubungi Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung, DPRD Kota, dan DPRD Provinsi untuk mendapatkan klarifikasi, namun hingga berita ini diterbitkan, tidak satu pun memberikan tanggapan resmi.***