DJADIN MEDIA- Rencana Pemerintah Kota (Pemkot) Bandar Lampung untuk mendirikan Sekolah Menengah Atas (SMA) Siger kembali memantik kritik dari kalangan akademisi. Meski ide dasarnya dinilai positif karena membuka akses pendidikan yang lebih luas, sejumlah pihak menganggap kebijakan ini berpotensi keliru jika tak dikaji secara menyeluruh.
Pengamat kebijakan publik Universitas Lampung, Dr. Dedy Hermawan, menilai Pemkot harus bertindak hati-hati dan berbasis data. Ia menekankan pentingnya komunikasi intensif antara Wali Kota Eva Dwiana dan DPRD, mengingat kebijakan ini menyangkut masa depan pendidikan generasi muda di Kota Tapis Berseri.
“Masalah pendidikan tak bisa diputuskan sepihak. Wali Kota perlu duduk bersama DPRD, karena ini menyangkut banyak aspek strategis,” ujar Dedy, Kamis (17/7).
Ia menyoroti bahwa seluruh aspek legalitas, prosedur perizinan, kesiapan SDM, dan infrastruktur sekolah harus benar-benar tuntas sebelum kebijakan dijalankan. Apalagi, pendirian sekolah baru berada dalam wilayah kewenangan pemerintah provinsi, bukan kabupaten/kota.
“Kalau bisa semuanya clear: aturannya, prosedurnya, hingga dampaknya. Jangan sampai niat baik justru menghasilkan polemik karena perencanaan yang terburu-buru,” tambahnya.
Selain menyarankan keterlibatan legislatif, Dedy juga menilai pentingnya mendengarkan aspirasi masyarakat, khususnya pengelola sekolah swasta yang saat ini sedang menghadapi tantangan berat dalam mempertahankan eksistensinya.
“Apakah ini benar-benar kebutuhan warga? Sementara sekolah swasta mengeluhkan minimnya perhatian. Mereka juga bagian dari ekosistem pendidikan yang perlu dirangkul,” katanya.
Menurut Dedy, sebuah kebijakan publik harus disusun berbasis data yang valid dan melibatkan partisipasi masyarakat. Keterlibatan publik, kata dia, bukan hanya sebagai bentuk demokrasi, tetapi juga elemen penting untuk memperoleh legitimasi kebijakan.
Ia juga mengingatkan agar Pemkot memperhitungkan dinamika sosial, politik, ekonomi, serta potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam proses penyusunan kebijakan pendidikan.
“Kalau semua itu diabaikan, maka bukan mustahil kebijakan itu justru merugikan Pemkot sendiri. Kita tidak sedang bermain proyek, tapi sedang bicara masa depan,” pungkasnya.
Pernyataan ini menjadi sinyal kuat agar Pemkot Bandar Lampung tak gegabah. Di tengah semangat memperluas akses pendidikan, tetap diperlukan ketelitian, keterbukaan, dan penguatan dialog publik agar setiap langkah benar-benar membawa manfaat berkelanjutan bagi warga kota.***