DJADIN MEDIA– Pemerintah Kota Bandar Lampung menerima penghargaan Kota Layak Anak kategori Nindya dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (PPPA RI) pada Jumat, 8 Agustus 2025. Namun, penghargaan ini memicu kontroversi di tengah kondisi kota yang masih memiliki banyak masalah mendasar.
Panglima Organisasi Masyarakat Laskar Muda Lampung, Misrul, menyatakan keheranannya atas penghargaan tersebut. “Bandar Lampung kota ramah perempuan dan anak? Saya kaget mendengar beritanya,” katanya pada Sabtu, 9 Agustus 2025.
Data dari Lembaga IQ Air menunjukkan kualitas udara Bandar Lampung telah tercemar partikel halus yang berpotensi menyebabkan penyakit pernapasan serius, gangguan bagi ibu hamil, dan risiko serangan jantung. Di sisi lain, ruang terbuka hijau (RTH) kota ini tidak mencapai 30 persen dari luas wilayah sebagaimana ketentuan perundang-undangan.
Selain itu, sebagian besar RTH telah dialihfungsikan untuk pembangunan ekonomi sehingga fasilitas hijau yang tersedia bagi publik sangat minim. Dari 20 kecamatan di Bandar Lampung, hanya dua kecamatan yakni Sukarame dan Kemiling yang memiliki revitalisasi ruang publik berupa stadion mini.
“Kegiatan budaya dan festival kebudayaan hanya diadakan di Tugu Adipura dan stadion mini di Sukarame serta Kemiling. Warga di 18 kecamatan lain harus menempuh jarak jauh hanya untuk menonton festival, ini tidak adil,” kata Misrul.
Selain persoalan lingkungan, Misrul juga mengkritisi utang Pemkot Bandar Lampung yang mencapai Rp56 miliar pada 2024 kepada 13 rumah sakit dan beberapa puskesmas. Tunggakan insentif kepada Ketua RT juga dilaporkan mencapai sekitar Rp50 miliar, dengan pembayaran yang terlambat hingga 10-11 bulan.
Dana Bina Lingkungan (Billing) yang belum tersalurkan selama masa kepemimpinan Wali Kota Eva Dwiana juga menjadi sorotan dan diduga menjadi alasan mutasi Kadisdikbud Bandar Lampung.
Kondisi ini memunculkan keraguan terhadap kelayakan Bandar Lampung menerima penghargaan Kota Layak Anak, mengingat tantangan serius dalam penyediaan ruang terbuka hijau dan manajemen keuangan daerah yang belum terselesaikan.***