DJADIN MEDIA— Persoalan penyelewengan dana desa kembali menjadi sorotan. Untuk menjawab tantangan pengawasan dan kepastian hukum, Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) Lampung menggelar diskusi publik pada Sabtu, 3 Mei 2025, menghadirkan Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Lampung serta akademisi dari Universitas Bandar Lampung (UBL).
Sejak bergulirnya dana desa pada 2015, praktik penyimpangan masih marak terjadi di berbagai wilayah, termasuk di Lampung. Salah satu kasus menonjol yang diungkap Ditkrimsus melibatkan lebih dari 1.000 saksi dan saat ini diambil alih dari Polres Lampung Tengah oleh Polda Lampung.
“Korupsi dana desa bukan sekadar soal hukum, tapi soal lemahnya sistem dan pengawasan. Banyak kepala desa tidak paham tugasnya, dan bahkan mengabaikan transparansi,” ujar Dr. Zainuddin, akademisi UBL.
Penyimpangan dana kerap terjadi dalam bentuk bantuan tidak tepat sasaran, lemahnya pengelolaan, hingga praktik politik uang saat pemilihan kepala desa yang menciptakan ‘utang politik’. Tantangan juga datang dari minimnya SDM jaksa dan aparat pengawas di desa, serta perangkat desa yang tidak kompeten.
Ketua PERMAHI Lampung, Tri Rahmadona, menyebut perlunya reformulasi pendekatan. Ia menyoroti bahwa banyak Babinkamtibmas dan Babinsa tidak memahami perannya dalam pengawasan dana desa.
“Kami tidak bisa hanya mengandalkan penegakan hukum. Perlu edukasi sejak dini dan pengawasan kolaboratif lintas sektor,” tegas Tri.
Rekomendasi utama dari diskusi ini mencakup:
- Pengawasan sejak tahap perencanaan dan penyaluran dana.
- Edukasi hukum dan pelatihan pengelolaan keuangan bagi aparat desa.
- Pembentukan desa binaan PERMAHI bersama akademisi sebagai model tata kelola yang sehat.
Sebagai bentuk aksi nyata, PERMAHI akan melakukan pendampingan regulatif, advokasi ke Inspektorat dan Gubernur, serta menjadikan beberapa desa sebagai pilot project kolaboratif masyarakat sipil dan pemerintah.
“Penyelewengan dana desa adalah bom waktu. Kolaborasi antara aparat, akademisi, dan mahasiswa hukum menjadi kunci untuk membangun tata kelola desa yang berpihak pada rakyat,” tutup Tri Rahmadona.***