DJADIN MEDIA- Rumah Darah bukanlah akhir dari perjalanan kreatif seorang penyair muda Lampung. Muhammad Alfariezie hadir dengan karya satir kontemporer yang mengguncang publik. Melalui puisinya, ia mengekspresikan emosi sekaligus menghadirkan kritik tajam terhadap kebijakan pemimpin kota yang sering abai terhadap logika, keadilan sosial, dan kesejahteraan masyarakat, terutama kelompok rentan.
Ia menekankan empat hal penting dalam menulis puisi kontemporer sebagai bentuk kejujuran menilai seorang pemimpin. Pertanyaan retoris, metafora ekstrem, hiperbola, dan ironi menjadi perangkat utama dalam karya-karyanya. Karya terbarunya menghadirkan pertanyaan yang memancing rasa ingin tahu sekaligus kemarahan pembaca, menjadikan puisi sebagai media protes yang efektif, yang tidak hanya estetis tetapi juga mengandung pesan moral dan politik.
Saat Wali Kota Lupa Membaca Undang-Undang
Seburuk apa wali kota kita berpikir sehingga remaja miskin terjerumus sekolah hantu?
Mungkin tidak lebih buruk dari zombie meski untuk sebatas Undang-Undang tidak mampu memahami
Dan mungkin enggak lebih kacau dari pascol namun faktanya berteriak hingga kita tercengang
Atau barangkali kalah dengan bayi karena nalarnya menerobos aturan sendiri
Puisi ini lahir dari pengalaman Alfariezie sebagai guru Bahasa Indonesia di SMK Samudera Bandar Lampung. Ia memanfaatkan pertanyaan retoris untuk membuka puisinya, bukan sekadar meminta jawaban, tetapi untuk menggugah kesadaran publik tentang absurditas kebijakan. Metafora ekstrem—membandingkan pemimpin dengan zombie, anak kecil penggila game online, hingga bayi—menjadi alat satir yang menohok, menyoroti lemahnya logika, kurangnya tanggung jawab penguasa, dan dampak kebijakan yang salah arah terhadap masyarakat.
Penggunaan hiperbola semakin memperkuat dampak emosional puisi. Kata-kata seperti “berteriak hingga kita tercengang” bukan hanya melebih-lebihkan situasi, tetapi juga menimbulkan rasa urgensi agar publik lebih waspada terhadap kebijakan yang merugikan. Ironi dan satir hadir melalui ejekan halus, menyampaikan kritik dengan humor getir tanpa kehilangan ketajaman pesan moral.
Formula Stilistika Yang Digunakan Alfariezie
Pertanyaan Retoris
“Seburuk apa wali kota kita berpikir sehingga remaja miskin terjerumus sekolah hantu?”
→ Bertujuan untuk menyindir sekaligus membangkitkan emosi pembaca, bukan untuk mencari jawaban literal.
Metafora & Simile
“Tidak lebih buruk dari zombie…”
“Kacau dari anak kecil penggila game online…”
“Kalah dengan bayi karena nalarnya menerobos aturan sendiri”
→ Menekankan buruknya kebijakan dengan membandingkan pemimpin dengan hal-hal ekstrem, menimbulkan kesan dramatis dan satir.
Hiperbola
“…berteriak hingga kita tercengang”
→ Memperkuat urgensi dengan melebih-lebihkan dampak kebijakan, memaksa pembaca menyadari konsekuensi nyata.
Satir & Ironi
→ Kritik disampaikan dengan cara mengejek hal-hal absurd dalam kebijakan, menggunakan humor getir untuk menekankan kegagalan penguasa.
Diksi Konfrontatif
→ Kata-kata seperti “hantu”, “zombie”, “terjerumus” memberi nuansa menyeramkan sekaligus membangkitkan kemarahan, menekan pembaca untuk tidak acuh terhadap kebijakan yang salah.
Nada Agitasi
→ Kalimat singkat, tegas, penuh sindiran, digunakan untuk membangkitkan kesadaran publik agar aktif menanggapi kebijakan yang absurd dan merugikan.
Puisi Alfariezie tidak hanya sekadar karya sastra, tetapi juga seruan moral dan kritik politik yang mengajak masyarakat berpikir kritis. Dengan memanfaatkan kekuatan bahasa, metafora ekstrem, dan strategi stilistika yang tajam, ia menunjukkan bahwa kata-kata bisa menjadi senjata melawan absurditas kekuasaan, sekaligus mengingatkan publik tentang tanggung jawab sosial dan kewajiban penguasa untuk melindungi kelompok rentan.***