DJADIN MEDIA- Indonesia terlalu sering menyebut diri sebagai “surga investasi.” Namun, siapa yang rela menanam modal di negeri dengan regulasi semrawut, izin berlapis, dan kepastian hukum yang rapuh? Investor bukan penguji coba. Mereka mencari kepastian—dan sayangnya, di negeri ini, kepastian justru jadi barang mewah.
Bandingkan dengan Vietnam, Thailand, atau Malaysia. Regulasi jelas, perizinan ringkas, birokrasi ramping. Investor datang, industri tumbuh, lapangan kerja terbuka. Sementara Indonesia? Tersandera tarik-menarik kepentingan antar lembaga, aturan tumpang tindih, dan ekonomi tergilas oleh birokrasi sendiri.
Tak heran bila modal asing perlahan beralih ke negara tetangga. Indonesia hanya kebagian remah, pertumbuhan tersendat, daya saing menurun, pengangguran kian menumpuk. Regulasi yang semestinya menopang pembangunan justru menjadi tembok penghalang.
Dipasena: Luka yang Belum Sembuh
Kisah Bumi Dipasena di Lampung menjadi cermin telanjang dari kegagalan regulasi. Pada 1990-an, kawasan tambak udang seluas 16 ribu hektare ini pernah jadi kebanggaan nasional, penghasil devisa miliaran rupiah setiap harinya. Namun sejak 2021, janji kebangkitan Dipasena hanya berhenti di atas kertas.
Pemerintah sibuk berkutat dengan kajian demi kajian, sementara petambak kecil dibiarkan bertahan sendiri dengan gotong royong. Infrastruktur rusak, tambak menua, teknologi tertinggal. Negara seakan hadir hanya lewat rapat dan dokumen, meninggalkan rakyat pesisir berjuang sendirian di lumpur.
Jangan Ulangi Pengkhianatan
Dipasena pernah menyimpan luka pahit: kemitraan inti-plasma yang timpang, petambak yang terjebak sebagai buruh di tanah sendiri, hingga konflik berkepanjangan. Apakah sejarah kelam itu akan diulang?
Kini, petambak memilih jalan kemandirian. Dengan menyisihkan Rp1.000 per kilogram hasil panen untuk dana bersama, mereka membangun solidaritas. Sebuah model sederhana namun adil, yang justru seharusnya jadi inspirasi bagi pemerintah.
Ujian bagi Negara
Revitalisasi Dipasena adalah ujian besar: apakah negara benar-benar hadir atau hanya piawai melontarkan janji? Jika berani bergerak dari wacana ke aksi nyata, Dipasena bisa kembali menjadi ikon perikanan dunia, sekaligus penopang devisa dan kesejahteraan rakyat pesisir.
Namun bila tidak, Dipasena akan tinggal sebagai monumen kegagalan—sebuah pengingat bahwa regulasi berbelit bisa membunuh potensi bangsa sendiri.
Investor boleh pergi, modal asing bisa berpindah. Tapi jika negara tak berpihak pada rakyatnya, untuk siapa sebenarnya regulasi itu dibuat?
— Suseno, Direktur Utama PT Sakti Biru Indonesia.***