DJADIN MEDIA- Puisi karya Penyair Muda asal Bandar Lampung, Muhammad Alfariezie, yang berjudul “Revolusi Kamar Mandi di Kota Berseri”, menjadi sorotan publik karena menyajikan kritik sosial yang tajam terhadap politik lokal Bandar Lampung. Karya ini menggabungkan unsur estetika sastra dengan sindiran politik yang mendalam, menyoroti perilaku wakil rakyat yang dianggap abai terhadap regulasi, pengawasan, dan masa depan pendidikan di kota tersebut.
Puisi ini menyoroti dua legislator perempuan dari Komisi 4 DPRD Bandar Lampung, yakni Hetty Friskatati dari Golkar dan Mayang Suri Djausal dari Gerindra. Alfariezie menyinggung sikap mereka yang malas membaca, malas mengetik, dan tidak menanggapi pertanyaan kritis mengenai skandal SMA Swasta Siger, sekolah ilegal yang disebut sebagai produk kebijakan “The Killer Policy”. Skandal ini dipandang memiliki potensi jerat pidana korupsi dan mengancam masa depan generasi muda di Bandar Lampung.
Dalam bait-baitnya, Alfariezie menekankan kontras antara perjuangan jurnalis yang harus membaca dan memahami regulasi meski terbatas secara ekonomi, dengan sikap legislator yang menutup mata. Ia menulis: “Rasanya enggak mungkin jempol mereka encok apalagi nunggak bayar wifi seperti kami: jurnalis yang selalu ingin tahu regulasi meski sulit membeli sebungkus nasi.” Sindiran ini memperkuat pesan bahwa ketidakpedulian legislatif merugikan publik.
Puisi ini juga menyentil praktik politik dinasti, di mana Mayang Suri diduga mendapatkan kursi melalui jalur politik keluarga, sementara Golkar dianggap tetap mengusung anggota yang kurang aktif secara intelektual. Simbol “revolusi kamar mandi” menjadi metafora sinis, menggambarkan perubahan kecil, sepele, bahkan absurd, di tengah persoalan serius yang menumpuk, mulai dari pelanggaran regulasi hingga ancaman korupsi yang berpotensi merugikan masyarakat luas.
Alfariezie menjelaskan bahwa puisi ini dibuat sebagai bentuk protes terhadap ketidakpedulian wakil rakyat. Ia menegaskan: “Saya buat puisi karena capek ya buat berita tapi Komisi 4 DPRD Bandar Lampung tidak berbuat apapun meski tahu pelanggaran regulasi nyata di depannya. Dan dua dewan perempuan itu tidak menjawab pertanyaan saya soal sekolah ilegal itu.” Pernyataan ini menunjukkan bagaimana sastra dapat menjadi medium kritik sekaligus dokumentasi sosial yang kuat.
Tradisi satire politik dalam sastra Indonesia sendiri sudah panjang. W\.S. Rendra melalui “Sajak-Sajak Pertemuan Mahasiswa” mengecam pejabat yang bungkam, sementara Taufiq Ismail dengan karyanya menyoroti rasa malu nasional. “Revolusi Kamar Mandi” hadir dengan gaya lebih lugas, kasar, dan langsung menyasar figur tertentu, misalnya dengan baris: “Payah! Dua-duanya malas membaca dan mengetik.” Puisi ini menegaskan bahwa sastra bukan hanya hiburan, tetapi juga alat untuk menyoroti ketidakadilan dan kegagalan tata kelola politik.
Lebih jauh, puisi ini mengingatkan bahwa jika wakil rakyat malas membaca, malas berpikir, dan tidak menindaklanjuti regulasi, dampaknya akan menimpa rakyat. Skandal SMA Swasta Siger menjadi simbol bagaimana ketidakpedulian elit politik bisa merusak kepercayaan publik, menghambat pendidikan yang layak, dan merugikan sekolah resmi yang berjuang tanpa sokongan dana pemerintah.
Bandar Lampung boleh disebut “kota Berseri”, tetapi jika politik hanya menghasilkan “revolusi kamar mandi”, yang berseri hanyalah slogan, bukan masa depan warganya. Puisi Alfariezie menggabungkan ekspresi artistik dengan agitasi politik, memperlihatkan bagaimana sastra dapat menjadi senjata kritik yang tajam sekaligus cermin sosial.
Puisi ini juga menekankan pentingnya pengawasan legislatif yang independen. Ketidakpedulian terhadap regulasi pendidikan yang nyata dan terbukti melanggar hukum memperlihatkan lemahnya fungsi kontrol DPRD. Alfariezie menggunakan karya ini untuk membangkitkan kesadaran publik bahwa tanggung jawab wakil rakyat tidak bisa ditawar, dan bahwa kesalahan mereka memiliki konsekuensi panjang bagi generasi mendatang.
Dengan demikian, “Revolusi Kamar Mandi di Kota Berseri” bukan sekadar karya puitis, tetapi juga pamflet politik yang menggabungkan keberanian, satire, dan estetika untuk menyoroti masalah nyata dalam tata kelola pemerintahan daerah, sekaligus memperkuat tradisi kritik sosial dalam sastra Indonesia.***