DJADIN MEDIA — Di bawah terik matahari, suara sapu lidi bersahut-sahutan dengan tawa ringan para warga binaan. Bukan, ini bukan rutinitas di lembaga pemasyarakatan. Ini adalah wajah baru pemidanaan Indonesia—lebih terbuka, lebih inklusif, dan lebih manusiawi.
Hari itu, Kamis 26 Juni 2025, ribuan klien Balai Pemasyarakatan (Bapas) di 94 kota/kabupaten Indonesia menggelar kegiatan bertajuk “Gerakan Nasional Klien Bapas Peduli”. Aksi ini bukan sekadar program bersih-bersih lingkungan. Ia adalah simbol: bahwa keadilan bisa hadir lewat tangan yang bekerja, bukan hanya lewat jeruji yang mengurung.
Salah satu titik kegiatan berlangsung di Perkampungan Budaya Betawi, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Para klien Bapas—mereka yang pernah tersandung hukum, kini sedang menjalani masa reintegrasi sosial—turun langsung menyapu halaman, memungut sampah, dan merapikan taman. Tak ada paksaan. Yang ada adalah tekad bersama untuk menunjukkan bahwa mereka masih layak dipercaya.
“Kami bukan kriminal selamanya. Kami hanya ingin diberi kesempatan memperbaiki diri,” ujar Toni, salah satu klien Bapas yang ikut dalam kegiatan.
Gerakan ini menjadi bagian dari persiapan besar menyambut berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional tahun 2026, di mana pidana kerja sosial resmi menjadi alternatif hukuman bagi pelanggaran ringan. Tak lagi semua pelaku tindak pidana harus masuk penjara. Dengan dukungan dari Bapas dan Pembimbing Kemasyarakatan, pelaku bisa dihukum dengan cara memberi manfaat langsung kepada masyarakat.
Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto yang turut hadir menyebut bahwa ini adalah langkah konkret menuju reformasi sistem pemasyarakatan yang lebih adil dan efektif. “Pidana kerja sosial bukan bentuk pelecehan. Ini adalah cara negara untuk membina tanpa membinasakan,” tegasnya.
Dirjen Pemasyarakatan Mashudi menambahkan bahwa Indonesia tidak sedang bereksperimen, tetapi tengah menunaikan keadilan transformatif. “Kita ingin warga binaan tidak lagi kembali ke kejahatan, tapi pulang ke keluarganya sebagai pribadi yang baru,” katanya.
Sementara itu, Prof. Harkristuti Harkrisnowo, pakar hukum pidana, menyebut gerakan ini sebagai momentum untuk memperkenalkan pendekatan restorative justice ke masyarakat luas. “Pemasyarakatan bukan hanya milik lembaga. Ia milik kita semua sebagai bangsa yang ingin tumbuh bersama,” tuturnya.
Dari Jakarta hingga Jayapura, dari Surabaya hingga Pontianak, rompi oranye hari itu tak lagi identik dengan rasa takut. Ia berubah jadi simbol perubahan—bahwa setiap orang, betapapun kelam masa lalunya, berhak atas masa depan yang lebih bersih.***
