DJADIN MEDIA- Lampung kembali menghadirkan suara segar dari ranah sastra, kali ini melalui karya seorang penyair muda bernama Muhammad Alfariezie. Puisinya yang berjudul *Debu Liar di Mata Wali Kota* tampil bukan hanya sebagai rangkaian kata-kata indah, melainkan juga sebagai kritik sosial yang tajam. Dengan memanfaatkan teknik prosa liris dan puisi naratif, ia membalut kritik politik dan sosial dalam bahasa puitis yang sarat makna.
Sebagai jurnalis sekaligus guru Bahasa Indonesia dan Olahraga di SMK Samudera Bandar Lampung, Alfariezie tidak hanya akrab dengan dunia kata, tetapi juga dengan realitas kehidupan sehari-hari yang penuh dinamika. Dari ruang kelas dan ruang redaksi, ia membawa pengalaman itu ke dalam puisi yang membicarakan relasi kuasa, janji politik, dan nasib pendidikan swasta.
Debu Liar di Mata Wali Kota
Di sini ada yang terlunta
karena cinta, ialah kepala sekolah swasta
yang memilih bunda menjadi wali kota
Mereka pohon bulan pinggir jalan padahal
sebelum bunda jadi wali kota, mereka
anggrek putih di vas bunga halaman istana
Dulu mereka selalu ada yang merawat
ketika pagi dan kebutuhan mereka terpenuhi
ketika senja asyik bernyanyi
Dulu juga, kala hujan berpetir angin kencang,
mereka selamat dari segala ancaman
Tapi sekarang mereka terancam setelah dulu
ramai-ramai bernyanyi merdu dalam kampanye
kemenangan hingga bunda berhasil memimpin kota
Sekarang ancaman mereka bukan hanya dari debu
dan krisis musim, tapi dari gergaji bunda yang siap
menebang keliaran
Padahal jika tanpa cinta mereka maka belum tentu
dia walikota
Puisi ini jelas menyuarakan ironi. Kepala sekolah swasta yang dulu dielu-elukan ketika memberikan dukungan politik, kini dianggap tidak penting. Simbol anggrek putih yang dulu terhormat kini berubah menjadi pohon bulan di pinggir jalan, gambaran keterpinggiran. Lebih jauh lagi, metafora gergaji bunda menjadi representasi ancaman kekuasaan yang siap memangkas pihak yang pernah berjasa.
Empat Teknik Gaya Sastra Muhammad Alfariezie
Pertama, majas. Ia banyak menggunakan metafora, personifikasi, dan hiperbola. Metafora hadir dalam simbol-simbol seperti pohon bulan, anggrek putih, dan gergaji bunda. Personifikasi memberi nyawa pada alam, misalnya ketika senja digambarkan bernyanyi. Hiperbola menekankan dukungan politik yang digambarkan dengan “ramai-ramai bernyanyi merdu dalam kampanye”.
Kedua, simbolisme. Alfariezie piawai menghadirkan simbol-simbol yang merepresentasikan kondisi sosial. Pohon dan anggrek putih melambangkan martabat sekolah swasta, debu dan krisis musim melambangkan kesulitan hidup, sementara gergaji bunda adalah simbol kekuasaan yang kejam.
Ketiga, diksi. Ia memilih kata sederhana namun penuh resonansi. Kontras antara “dulu” dan “sekarang” ditekankan untuk memperlihatkan perubahan nasib. Ungkapan puitis seperti “hujan berpetir angin kencang” dan “cahaya berdebu” memperkuat suasana lirisme.
Keempat, gaya retoris. Puisi ini sarat dengan ironi dan satire. Kontras yang ditonjolkan tidak hanya sekadar gaya, tetapi juga alat untuk menyingkap janji politik yang palsu. Alegori dalam keseluruhan puisi menggambarkan bagaimana pendidikan swasta dimanfaatkan dalam politik, lalu ditinggalkan setelah kemenangan diraih.
Prosa Liris Bernuansa Kritik Sosial
Puisi ini pada dasarnya bukan sekadar karya estetis, tetapi juga medium protes. Ia menggambarkan bagaimana pendidikan swasta yang dulu dianggap penting kini dipinggirkan. Kritik ini disampaikan tidak secara frontal, melainkan melalui gaya liris yang indah namun menusuk. Ancaman gergaji bunda adalah representasi paling tajam tentang bagaimana kekuasaan bisa menyingkirkan orang-orang yang dulu berjasa.
Menggugat Relasi Pendidikan dan Kekuasaan
Karya Alfariezie memaksa pembaca merenungkan hubungan erat antara pendidikan dan kekuasaan. Pendidikan swasta yang seharusnya menjadi mitra pembangunan justru diperlakukan sebagai beban. Mereka yang dulu memberi dukungan kini dianggap debu liar. Puisi ini mengungkap bahwa loyalitas politik sering berbalas dengan pengkhianatan, sebuah fenomena yang kerap terjadi di banyak daerah.
Muhammad Alfariezie: Penyair dengan Dua Dunia
Sebagai guru sekaligus jurnalis, Alfariezie berdiri di dua dunia yang membentuk perspektif unik. Dari ruang kelas ia melihat dunia pendidikan secara langsung, sementara dari dunia jurnalistik ia terbiasa mengamati realitas sosial. Perpaduan keduanya memberi kekuatan pada puisinya. Gaya yang ia pilih—satire, simbolisme, dan diksi puitis—menjadikan setiap karya bukan hanya bacaan, tetapi juga seruan moral.
Melalui Debu Liar di Mata Wali Kota, Alfariezie menunjukkan bahwa sastra tetap relevan sebagai medium kritik. Ia membuktikan bahwa kata-kata bisa menjadi senjata elegan: indah dalam estetika, tajam dalam makna.***