DJADIN MEDIA– Dunia pendidikan di Kota Bandar Lampung kembali diguncang oleh kehadiran sebuah sekolah yang disebut-sebut sebagai “sekolah hantu”. SMA Swasta Siger, yang berada di bawah naungan Pemkot Bandar Lampung dan dikaitkan langsung dengan kebijakan Wali Kota Eva Dwiana, kini mendapat sorotan tajam. Alih-alih memberikan solusi pendidikan bagi anak-anak pra sejahtera, sekolah ini justru menuai kritik karena dianggap menjerumuskan masa depan generasi muda ke jalan buntu.
Pada Jumat, 5 September 2025, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Lampung secara resmi menegaskan bahwa penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah tersebut adalah ilegal. Bahkan, ketua yayasan yang menaungi SMA Siger digambarkan sebagai sosok “algojo” yang menakutkan, membuat para tenaga pendidik enggan menyebut namanya di ruang publik. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, bagaimana bisa sebuah sekolah beroperasi tanpa izin resmi, namun tetap berjalan dengan dukungan dari pihak-pihak tertentu?
Pihak Disdikbud mengaku telah beberapa kali memanggil pengelola sekolah untuk segera mengurus izin operasional. Namun, hingga kini tidak ada langkah nyata untuk memenuhi administrasi yang dibutuhkan. Ironisnya, pengelola yang juga berstatus kepala SMP Negeri dan guru SMP Negeri di Bandar Lampung justru nekat melanjutkan KBM meskipun tahu status sekolah tersebut ilegal. Pengakuan mereka bahwa pendanaan berasal dari Pemkot Bandar Lampung semakin memperkeruh suasana, apalagi hingga kini belum ada dokumen resmi yang membuktikan aliran dana APBD ke sekolah Siger. Jika benar ada penggunaan dana negara tanpa dasar hukum yang jelas, indikasi tindak pidana korupsi pun kian menguat.
Bahaya sekolah ilegal ini semakin terasa ketika diketahui jumlah siswanya mencapai 52 orang, dan diperkirakan masih akan bertambah. Seorang wakil kesiswaan yang juga guru SMP Negeri bahkan dengan gamblang menyatakan sekolah masih menerima siswa baru. Padahal, sekolah ini tidak terdaftar dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik) Kementerian Pendidikan, yang berarti puluhan siswa yang sudah terlanjur masuk berisiko besar tidak mendapatkan ijazah sah ketika lulus nanti. Situasi ini bukan hanya mencederai hak anak atas pendidikan yang layak, tetapi juga menjadi bom waktu yang bisa menghancurkan masa depan mereka.
Meskipun Disdikbud Lampung telah menegaskan status ilegal sekolah tersebut, belum ada tindakan konkret untuk menutupnya. Hal ini memunculkan pertanyaan publik: mengapa aparat terkait terkesan ragu mengambil sikap tegas? Apakah ada intervensi politik yang membuat lembaga resmi tidak berdaya menghadapi sekolah ilegal yang jelas-jelas melanggar hukum?
Ketidakjelasan ini semakin menegaskan stigma bahwa SMA Siger hanyalah proyek politik yang dikemas dalam bungkus pendidikan. Banyak pihak menyebut kebijakan ini sebagai “The Killer Policy” atau kebijakan mematikan, karena justru merugikan anak-anak dari keluarga pra sejahtera yang awalnya berharap mendapatkan akses pendidikan gratis atau murah.
Berdasarkan penelusuran, SMA Siger telah melanggar sedikitnya delapan regulasi penting yang menjadi dasar penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, antara lain:
1. Permendikbudristek RI Nomor 36 Tahun 2014
2. Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2001
3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 66 Tahun 2010
4. Permendikdasmen Nomor 1 Tahun 2025
5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
6. Perwali Kota Bandar Lampung Nomor 7 Tahun 2022
7. Perda Bandar Lampung Nomor 4 Tahun 2021
8. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
Pelanggaran berlapis ini bukan sekadar kesalahan administratif, melainkan bentuk pembangkangan terhadap hukum yang berlaku. Dampaknya tidak main-main, mulai dari ancaman pidana bagi penyelenggara, dugaan korupsi akibat penggunaan dana tanpa dasar hukum, hingga kerugian besar bagi siswa dan orang tua yang telah mempercayakan masa depan anak-anak mereka di sekolah ini.
Kini, publik menunggu langkah nyata dari pemerintah provinsi maupun aparat penegak hukum. Apakah mereka berani menindak tegas sekolah ilegal ini meskipun berada di bawah bayang-bayang Wali Kota Eva Dwiana? Ataukah kasus ini akan kembali tenggelam dalam pusaran politik, sementara puluhan siswa dibiarkan terombang-ambing tanpa kepastian?***