DJADIN MEDIA— Pemerintah Provinsi dan DPRD Lampung tampaknya sepakat: niat baik bisa mengalahkan aturan. Pendirian SMA Swasta “Siger” yang dilakukan Wali Kota Eva Dwiana tanpa legalitas resmi dianggap bukan pelanggaran, melainkan bentuk kepedulian terhadap rakyat.
Padahal, sederet regulasi telah diterobos oleh pendirian sekolah tersebut, antara lain:
- Permendikbudristek RI Nomor 36 Tahun 2014
- Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2001
- Peraturan Pemerintah RI Nomor 66 Tahun 2010
- Permendikdasmen Nomor 1 Tahun 2025
Alih-alih dikritisi, terobosan ini justru dipuji dan didukung. Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal menyatakan dukungan penuh, dengan dalih “pendidikan masih sangat dibutuhkan”.
“Kami menyambut baik dan mendukung penuh,” ujar Rahmat, melansir RMOLLampung.id (14/7/2025).
Ia menegaskan bahwa mekanisme teknis seperti perizinan akan tetap dilakukan oleh dinas terkait, meskipun legalitas sekolah masih dipertanyakan.
DPRD: Dari Terkejut Jadi Setuju
Ketua DPRD Kota Bandar Lampung, Bernas, awalnya mengaku kaget saat inspeksi mendadak menemukan bahwa Sekolah Siger belum legal. Namun ia akhirnya menyatakan dukungan, meskipun data teknis sekolah belum diterima.
“Kami sebenarnya mendukung karena ini untuk siswa kurang mampu,” katanya melansir Kupastuntas.co.
Dukungan Fraksi-Fraksi DPRD
Lebih mengejutkan, anggota DPRD dari Fraksi Golkar mengaku pendanaan untuk Sekolah Siger sudah dialokasikan dalam APBD-P. Tak peduli soal izin, legalitas, atau badan hukum yayasan yang justru dilarang dimiliki pemerintah daerah.
“Jumlahnya sudah dianggarkan, dan ya, cukuplah,” ucapnya tanpa menyebut nominal.
Sementara Ketua Komisi IV DPRD Bandar Lampung, Asroni Paslah, menyatakan akan mengupayakan dana tambahan untuk memperlancar kegiatan belajar mengajar, meski prosesnya belum dibahas secara resmi.
“Akan kita upayakan masuk APBD Perubahan, besarannya belum tahu,” ujarnya.
Niat Baik, Tapi Menabrak Undang-Undang
Sekolah Siger dibentuk tanpa badan hukum yayasan yang sah, yang seharusnya menjadi prasyarat pendirian sekolah swasta. Ironisnya, pemerintah kota justru mengambil peran sebagai pendiri yayasan, yang secara hukum melanggar UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Dalam sistem demokrasi dan negara hukum, niat baik bukanlah dasar legalitas. Tanpa kepatuhan pada aturan, kebijakan bisa berubah menjadi preseden buruk: bahwa hukum bisa dikesampingkan selama tujuannya “baik”. Jika niat baik bisa menggugurkan pelanggaran hukum, maka untuk apa regulasi dibuat?***