DJADIN MEDIA- Sekjen Forum Muda Lampung, M. Iqbal Farochi, menyoroti kinerja Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dalam menangani bencana banjir bandang di tiga provinsi Sumatera, sekaligus membahas paradoks fokus kementerian antara digitalisasi layanan dan penanganan lapangan yang krisis.
Bencana alam yang melanda Sumatera akhir-akhir ini membawa serta kayu gelondongan hasil alih fungsi hutan, menimbulkan kerusakan pada pemukiman warga dan menyoroti masalah tata kelola hutan di Indonesia. Iqbal Farochi menekankan bahwa meski kementerian telah menunjukkan respons proaktif pasca-bencana, tindakan pencegahan pra-bencana masih sangat minim. “Ini menunjukkan keahlian luar biasa dalam diagnostik pasca-mortem, namun sayangnya keahlian yang sama tidak diterapkan untuk pencegahan sebelum bencana,” ujarnya.
Menurut Farochi, kursi Menteri menjadi simbol zona nyaman, di mana fokus utama lebih tertuju pada digitalisasi layanan kehutanan dan administrasi perizinan perusahaan, sementara risiko ekologi dan keselamatan warga lokal cenderung menjadi tanggung jawab masyarakat setempat. Ia menyoroti bahwa meski desakan mundur datang dari DPR RI, termasuk fraksi yang seharusnya sejalan, posisi Menteri tetap tegak berdiri, menunjukkan stabilitas politik pribadi yang patut dicatat.
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa fenomena ini menampilkan paradoks kinerja kementerian: data penurunan deforestasi dipuji, sementara krisis ekologis nyata menimpa masyarakat lokal, memperlihatkan ketidakseimbangan antara kebijakan dan implementasi di lapangan. Fokus kementerian pada e-signature dan kelancaran layanan perizinan dikritik sebagai prioritas yang tidak selaras dengan kebutuhan mendesak di lapangan.
Farochi menambahkan, meski terdapat beberapa capaian administratif, tindakan kementerian dinilai kurang sensitif terhadap kondisi kritis di Sumatera. Banjir bandang yang menghanyutkan kayu-kayu gelondongan seakan menjadi pesan visual dari hutan itu sendiri, memperingatkan kementerian untuk lebih serius menindak alih fungsi hutan dan pembalakan liar sebelum dampak bencana menjadi lebih luas.
Ia juga menekankan pentingnya sinergi antara kebijakan digital dan penanganan lapangan. “Seharusnya ada keseimbangan antara mempermudah administrasi dan memastikan mitigasi risiko ekologi serta keselamatan warga, bukan sekadar menjaga stabilitas operasional korporasi di lapangan,” kata Farochi.
Penutupnya menegaskan bahwa peringatan dari alam ini harus menjadi evaluasi serius bagi kementerian agar ke depan tindakan preventif lebih diutamakan, bukan hanya fokus pada pencapaian administratif dan digitalisasi layanan. Krisis ekologis di Sumatera menjadi pelajaran bahwa kenyamanan jabatan tidak bisa menggantikan tanggung jawab nyata di lapangan.***
