DJADIN MEDIA– Dunia pendidikan di Kota Bandar Lampung kembali diguncang isu panas yang memunculkan tanda tanya besar di kalangan publik. Polemik terbaru terkait SMA Swasta Siger menjadi sorotan tajam setelah muncul dugaan penggunaan dana APBD oleh lembaga pendidikan yang ternyata belum memiliki legalitas resmi. Fakta mengejutkan ini memperlihatkan adanya kejanggalan serius dalam tata kelola kebijakan pendidikan di bawah pemerintahan Wali Kota Eva Dwiana.
Berdasarkan informasi dan dokumen resmi yang berhasil dihimpun, SMA Swasta Siger ternyata sudah membuka pendaftaran peserta didik baru pada tanggal 9-10 Juli 2025. Namun, ironisnya, akta notaris pendirian yayasan yang menaungi sekolah tersebut baru dibuat pada 31 Juli 2025, berdasarkan data akta notaris bernomor 14 yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Fakta ini memunculkan dugaan kuat bahwa proses pendirian sekolah dilakukan secara tergesa-gesa tanpa memperhatikan aspek legal dan administratif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003.
Lebih jauh lagi, SMA Swasta Siger diduga menempati aset negara dengan memanfaatkan fasilitas milik SMP Negeri 38 dan SMP Negeri 44 Bandar Lampung. Langkah ini dinilai bertentangan dengan prinsip pengelolaan aset daerah dan berpotensi melanggar aturan penggunaan fasilitas publik untuk kepentingan swasta. Dalam situasi seperti ini, wajar jika publik mempertanyakan arah dan moralitas kebijakan pendidikan di bawah kepemimpinan Eva Dwiana yang tampak semakin lepas kendali.
Redaksi juga memperoleh bukti berupa dokumen akta notaris yang menunjukkan bahwa Ketua Yayasan Siger Prakarsa Bunda merupakan mantan Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Daerah Pemkot Bandar Lampung, sementara posisi Ketua Pembina diisi oleh saudara kembar yang dikenal publik sebagai tokoh di balik kebijakan “The Killer Policy”. Hubungan personal dan jabatan tersebut menambah kuat dugaan adanya konflik kepentingan dalam proses pendirian lembaga pendidikan ini.
Publik menilai bahwa apa yang terjadi pada SMA Swasta Siger bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi mencerminkan adanya pola kebijakan yang “liar” di tubuh pemerintahan Kota Bandar Lampung. Dalam praktik pemerintahan yang baik, setiap kebijakan publik harus berlandaskan pada hukum dan asas transparansi. Namun, kenyataannya, justru muncul kesan bahwa Pemkot Bandar Lampung bertindak seolah berada di atas aturan.
Sumber internal Pemkot yang enggan disebutkan namanya bahkan menyebut bahwa proses penggunaan aset negara untuk kepentingan yayasan ini dilakukan tanpa kajian mendalam dan tanpa persetujuan mekanisme formal DPRD. Jika hal ini terbukti benar, maka tindakan tersebut tidak hanya menyalahi etika pemerintahan, tetapi juga bisa masuk dalam ranah hukum administrasi dan pidana karena menyangkut penggunaan fasilitas publik tanpa izin sah.
Kritik terhadap Wali Kota Eva Dwiana pun semakin menguat. Sejumlah kalangan menilai kepemimpinannya mulai kehilangan arah dan tidak lagi menjunjung prinsip tata kelola pemerintahan yang bersih. Kebijakan yang seharusnya berpihak kepada masyarakat justru terkesan diwarnai kepentingan kelompok tertentu. Masyarakat mempertanyakan mengapa sekolah yang belum memiliki izin operasional bisa secara terbuka melakukan penerimaan siswa baru, bahkan dengan dukungan fasilitas dan anggaran dari APBD.
Lebih parahnya lagi, kebijakan ini berpotensi mengorbankan masa depan anak-anak didik yang telah mendaftar di SMA Swasta Siger. Tanpa legalitas yang jelas, status pendidikan mereka bisa terancam tidak diakui secara hukum, yang berarti mereka berisiko kehilangan hak atas pendidikan formal yang sah. Situasi ini menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan di Bandar Lampung, yang seharusnya menjadi ruang tumbuhnya generasi cerdas dan berintegritas.
Dalam konteks hukum, tindakan seperti ini bisa bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang diteken oleh Presiden ke-5 Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri. Undang-undang tersebut secara tegas mengatur bahwa setiap lembaga pendidikan wajib memiliki izin operasional sebelum menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajar. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat berimplikasi serius terhadap keberlangsungan lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Dengan munculnya fakta-fakta ini, publik kini menuntut transparansi dan penegakan hukum yang tegas. Pemerintah Kota Bandar Lampung diminta memberikan penjelasan resmi mengenai legalitas SMA Swasta Siger, penggunaan aset negara, serta sumber dana yang digunakan dalam operasionalnya. Jika tidak, kepercayaan publik terhadap integritas dan kredibilitas kepemimpinan Eva Dwiana akan semakin tergerus.
Kasus ini menjadi peringatan bagi seluruh pemerintah daerah agar lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan di sektor pendidikan. Pendidikan bukan ruang untuk eksperimen politik atau kepentingan pribadi, melainkan tanggung jawab moral dan hukum untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.***

