DJADIN MEDIA – Polemik sengketa lahan proyek ambisius Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) yang menyeret nasib 56 warga Dusun Buring, Desa Sukabaru, Kecamatan Penengahan, Kabupaten Lampung Selatan, masih jauh dari kata selesai. Sejak tahun 2016 lahan mereka telah digilas oleh proyek pembangunan JTTS, namun hingga kini janji ganti rugi tak kunjung terwujud.
Perjuangan panjang yang penuh drama ini kembali menggema pada Selasa (26/8/2025), ketika Ketua Kelompok Masyarakat (Pokmas) Dusun Buring, Suradi, bersama pengacara pendamping Syaifulloh Musa, S.H., dan anggota Pokmas Pardi, mendatangi kantor Ombudsman RI Perwakilan Lampung di Bandar Lampung. Kehadiran mereka bukan tanpa alasan, melainkan untuk menagih kepastian atas rekomendasi Ombudsman yang sebelumnya dijanjikan akan keluar terkait pembayaran ganti rugi.
Rombongan diterima langsung oleh Tim Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Lampung, yakni Muhammad Burhan dan asisten Ombudsman, Tegar Adiwijaya. Pertemuan tersebut berlangsung cukup tegang karena warga merasa lelah menunggu kepastian yang tak kunjung datang, sementara Ombudsman menyampaikan bahwa proses penyelesaian laporan masih berjalan dan membutuhkan waktu lebih lama.
Suradi dengan tegas menyatakan kekecewaannya. Ia mengingatkan bahwa Ombudsman pernah menyampaikan rekomendasi akan keluar pada 23 Agustus 2025, namun hingga kini tidak ada kejelasan. “Kami ke sini menagih janji ke Ombudsman, karena proses ini sudah berjalan selama dua tahun. Lahan warga sudah digunakan sejak lama, tapi hak mereka belum juga dibayarkan,” ujar Suradi.
Namun, klaim Suradi dibantah oleh Muhammad Burhan. Menurutnya, Ombudsman tidak pernah memberikan janji spesifik terkait tanggal keluarnya rekomendasi. “Kami tidak pernah memberi janji akan selesai tanggal sekian. Prosesnya masih berjalan. Kami memprioritaskan laporan ini, tetapi tetap butuh waktu. Tidak bisa memastikan seminggu atau sebulan selesai,” jelas Burhan.
Burhan menambahkan bahwa permasalahan utama terletak pada silang pendapat antar kementerian, yakni Kementerian PUPR dan Kementerian Kehutanan, mengenai pencairan dana ganti rugi. Kendati demikian, Burhan menyebut sudah ada komitmen dari pihak kementerian untuk melakukan pembayaran, meski belum dapat dipastikan kapan terealisasi. “Kalau semua proses sudah selesai, pasti akan kami kabari,” imbuhnya.
Berbeda dengan Burhan, Tegar Adiwijaya justru mengakui adanya komunikasi melalui pesan singkat dan telepon dengan Suradi pada Juli lalu, di mana ia sempat menyebutkan rekomendasi akan keluar 23 Agustus 2025. “Memang saya sempat menyampaikan itu. Tapi mohon maaf, Ombudsman Perwakilan Lampung tidak memiliki kewenangan penuh. Hal ini tetap harus dikoordinasikan dengan Ombudsman RI Pusat,” ucap Tegar.
Ia menambahkan, laporan Suradi termasuk dalam kategori rumit, sehingga tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat. “Awalnya kami perkirakan bisa selesai dalam satu bulan. Namun karena banyak laporan lain yang juga harus diproses, kasus ini jadi tertunda. Lagi pula, terlapornya adalah PPK Jalan Tol Trans Sumatera, bukan langsung Kementerian PUPR. Jadi, PPK harus mengajukan anggaran terlebih dahulu ke pusat, baru bisa dibayarkan,” terang Tegar.
Pernyataan Tegar tersebut menimbulkan pertanyaan dari kuasa hukum warga, Syaifulloh Musa. Ia menilai Ombudsman seharusnya berpegang pada putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Sebab, perkara ini sudah melalui proses hukum panjang, dari Pengadilan Negeri Kalianda hingga Mahkamah Agung, dan semuanya memenangkan pihak warga.
“Putusan pengadilan tingkat pertama sampai kasasi jelas menyatakan bahwa Suradi dan kawan-kawan adalah pemilik sah tanah yang digusur dan berhak atas ganti rugi. Jadi tidak ada alasan untuk menunda lagi. Ombudsman seharusnya menghormati putusan pengadilan, bukan mempermasalahkan siapa terlapor atau perbedaan pendapat antara dua kementerian,” tegas Syaifulloh.
Ia menuntut agar Ombudsman RI, baik di tingkat pusat maupun daerah, memiliki target waktu yang jelas dalam menangani laporan masyarakat. “Kasus ini sudah dua tahun kami kawal melalui Ombudsman sejak 31 Agustus 2023. Warga sudah menunggu terlalu lama. Mereka butuh kepastian, bukan janji tanpa ujung,” tambahnya.
Kini, perjuangan 56 warga korban proyek JTTS masih terus bergulir, terjebak dalam tarik ulur birokrasi antara kementerian dan lembaga. Harapan mereka sederhana: agar negara hadir memberikan keadilan dengan membayar hak ganti rugi yang telah lama ditetapkan pengadilan. Namun, hingga kepastian itu datang, suara mereka akan tetap bergema, menembus batas ruang sidang hingga jagat maya, menuntut keadilan yang semestinya mereka terima.***

