• Biolink
  • Djadin Media
  • Network
  • Sample Page
Tuesday, July 1, 2025
  • Login
Djadin Media
  • Beranda
  • Daerah
  • Ekonomi & Bisnis
  • Hiburan
  • Lifestyle
  • Otomotif
  • Politik
  • Teknologi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Daerah
  • Ekonomi & Bisnis
  • Hiburan
  • Lifestyle
  • Otomotif
  • Politik
  • Teknologi
No Result
View All Result
Djadin Media
No Result
View All Result
Home Daerah

Sungai yang Mengalir di Otak dan Taman dalam Ingatan: Algoritma Puitis Isbedy Stiawan

MeldabyMelda
February 24, 2025
in Daerah
0
Sungai yang Mengalir di Otak dan Taman dalam Ingatan: Algoritma Puitis Isbedy Stiawan

DJADIN MEDIA- Ada jejak emosi sekaligus sejumput “jiwa” dalam sekuntum puisi. Dalam laboratorium tak kasatmata yang kita sebut “pikiran”, triliunan sinapsis menyala seperti ledakan kunang-kunang di kegelapan, merajut pola dari kekacauan. Sebuah keteraturan dalam kekacauan.

Isbedy Stiawan—dengan 55 bukunya yang telah diterbitkan—adalah maestro yang dengan mudah menemukan formula untuk mengubah letupan ide menjadi metafora yang nikmat dan penuh makna.

Otak Bekerja Secara Kreatif

Kreativitas seorang penyair adalah tarian antara pikiran, visi, dan kontrol kognitif. Ketika seorang penyair memandang sungai, otaknya tidak hanya merekamnya sebagai aliran air, melainkan memicu “badai asosiasi”: sungai menjadi garis waktu, luka yang mengalir, atau cinta yang tak pernah beku.

Di sini, proses ini bekerja seperti penyuling, mengubah persepsi mentah menjadi simbol yang menggugah.

Beberapa penyair terkenal juga menjadikan sungai sebagai metafora ekspresi:

  • William Wordsworth menggambarkan sungai sebagai refleksi perasaan dan ketenangan hidup.
  • Robert Frost dalam “West-Running Brook” menggunakan sungai untuk melambangkan perjalanan dan perubahan dalam kehidupan.
  • Emily Dickinson melihat sungai sebagai jembatan antara kehidupan dan kematian.

Taman sebagai Simbol dan Ruang Ingatan

Taman, dalam konteks ini, adalah ruang tempat 1001 pengalaman baru dituai dan tumbuh kembali. Seperti bunga yang disemai, setiap pengalaman membentuk ingatan baru. Pablo Neruda pernah menulis: “Bunga-bunga tumbuh dari luka yang kita siram diam-diam.” Sebuah proses yang serupa dengan bagaimana ingatan emosional disimpan dan diolah menjadi simbol-simbol puitis.

Penyair lain yang menjadikan taman sebagai simbol dalam puisinya antara lain:

  • T.S. Eliot, dalam “Burnt Norton”, menggambarkan taman sebagai ekspresi waktu yang berlalu dan idiom keabadian.
  • Rainer Maria Rilke menjadikan taman sebagai ruang refleksi dan spiritualitas.
  • Seamus Heaney mengeksplorasi taman sebagai tempat kenangan masa kecil dan refleksi diri.

Pengalaman dan Disiplin Menulis

Bertahun-tahun pengalaman membentuk kepekaan seorang penyair. Setiap kali penyair menulis, ia semakin tajam menangkap nuansa kehidupan—mirip sungai yang mengukir lembah—mempercepat transmisi ide dan perasaan. Langston Hughes, penyair Harlem yang memitoskan Sungai Mississippi sebagai saksi sejarah perbudakan, menunjukkan bagaimana konsistensi dan disiplin dalam menulis dapat mengubah kepekaan menjadi puisi yang tajam.

Puisi sebagai Algoritma Puitis

Buku “Satu Ciuman, Dua Pelukan” adalah salah satu puncak dari proses kreatif Isbedy Stiawan. Dalam karyanya, sungai bukan sekadar metafora, melainkan algoritma: aliran emosi ketika jatuh cinta, percikan permenungan saat merayakan sesuatu, dan epifani di detik pertama inspirasi tiba. Taman-taman dalam puisinya adalah ruang ingatan yang dihuni oleh segala yang pernah disentuh, dicium, dan dirindukan. Seperti kata Neruda: “Cinta begitu pendek, lupa begitu panjang.” Sebuah frasa yang lahir dari kedalaman emosi dan refleksi.

Utang Rasa

Menulis puisi adalah upaya mengubah kekacauan pikiran menjadi keindahan yang teratur. Otak manusia—dengan segala kompleksitasnya—bagaikan sungai yang tak pernah berhenti mencari muara. Isbedy Stiawan telah membuktikan bahwa di setiap belokan sungai, di sudut tersembunyi taman ingatan, selalu ada puisi yang menunggu dipetik—kemudian ditanam kembali sebagai benih inspirasi bagi generasi mendatang. Saya, dan segenap pembaca karya Isbedy Stiawan, tentu “berutang rasa” atas warisan kata-katanya.***

 

Source: Isbedy Stiawan
Tags: InspirasiKataIsbedyStiawanLiterasiPuisiSastraIndonesiaSungaiPuitisTamanIngatan
Previous Post

Syukuran Wabup Romli, Guru Besar Pencak Silat dan Sekinci-Kinci Lampura Hadir Beri Dukungan

Next Post

Resep Chicken Cordon Bleu dengan Keju Leleh

Next Post
Resep Chicken Cordon Bleu dengan Keju Leleh

Resep Chicken Cordon Bleu dengan Keju Leleh

Facebook Twitter

Alamat Kantor

Perumahan Bukit Billabong Jaya Blok C6 No. 8,
Langkapura, Bandar Lampung
Email Redaksi : lampunginsider@gmail.com
Nomor WA/HP : 081379896119

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Daerah
  • Ekonomi & Bisnis
  • Hiburan
  • Lifestyle
  • Otomotif
  • Politik
  • Teknologi

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In