DJADIN MEDIA – Program pemutihan pajak kendaraan bermotor digadang-gadang sebagai jurus sakti untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) Lampung. Tapi nyatanya? Seperti tali tambang yang lapuk—ia putus sebelum sempat menarik beban.
Wakil rakyat pun angkat bicara. Meski kadang kita bertanya-tanya, apakah mereka benar-benar membaca traktat ekonomi atau hanya sibuk traktiran? Tapi ya sudahlah, mungkin ini hanya soal teori kemungkinan—bisa jadi mereka membaca, hanya belum sempat bertobat dari kebiasaan menyerap tanpa menggarap.
Pajak kendaraan memang penting, terutama jika kita bicara soal emisi gas buang. Polusi dari kendaraan bermotor tak hanya menyergap paru-paru ibu muda yang hamil anak mantan, tapi juga menyengat napas para bayi hasil pertengkaran mantan. Ironi ini nyata di jalan raya—padat merayap, pikiran pun ikut sesak.
Namun, mari kita jujur. Rakyat kian dicekik pajak, sementara jalan tetap macet, harga barang melonjak, dan kesempatan hidup layak justru melorot. Dalam kekacauan ini, menarik pajak dari masyarakat ibarat memeras dari gelas kosong—yang keluar hanya suara kesal.
Maka muncul satu usul satir: kenapa bukan pabrikan kendaraan saja yang dikenai pajak lebih besar? Mereka yang terus mengguyur pasar dengan kendaraan baru, tanpa berpikir panjang soal daya dukung infrastruktur dan kualitas udara.
“Jalanan makin padat, hati makin sempit. Tapi kita tetap disuruh bayar, tanpa tahu ke mana arah keringat itu mengalir,” keluh seorang pengendara yang lebih hafal lubang jalan daripada nama lurahnya.
Sementara itu, para wakil rakyat tetap duduk manis, gaji rutin masuk, tunjangan tak pernah macet. Mereka bicara soal “optimalisasi PAD”, tapi lupa menilik akar persoalan: ketimpangan antara beban yang dipikul rakyat dan kenyamanan yang mereka nikmati.
Lalu bagaimana?
Ya masa kami juga yang harus jawab semua? Bukankah itu alasan kami memilih kalian? Atau barangkali kami salah—memilih yang menjanjikan kesejahteraan tapi ternyata lebih lihai menambah penderitaan.
Maaf jika tulisan ini menimbulkan gelisah. Ini hanya suara dari jalanan, dari yang sabar menunggu lampu hijau dan lelah membayar demi janji yang tak kunjung datang. Jika terasa menusuk, barangkali karena ia dekat dengan kenyataan.***