DJADIN MEDIA– Viral di media sosial TikTok hingga menembus 7 juta penonton, kisah duka dan kemarahan seorang ibu di Kabupaten Pringsewu menyelimuti meninggalnya putrinya yang masih berusia 12 tahun, Zie. Peristiwa memilukan ini terjadi sehari setelah korban mengikuti kegiatan pramuka yang digelar SDN 1 Margakaya, menimbulkan perhatian publik luas terkait keselamatan anak-anak dalam kegiatan sekolah.
Kejadian nahas terjadi pada 22 November 2025 sekitar pukul 10.00 WIB. Saat kegiatan berlangsung, Zie terjatuh dari lereng tebing setinggi hampir sepuluh meter, yang berlokasi hanya beberapa ratus meter dari lingkungan sekolah. Kegiatan tersebut merupakan bagian dari program pramuka untuk mencari tanaman herbal di area perbukitan.
Kepala Sekolah SDN 1 Margakaya, Lesma Erlina, membenarkan kegiatan itu. Ia menjelaskan ada enam guru pembina yang mendampingi puluhan siswa dalam kegiatan pramuka di luar kelas.
“Di tanggal 22 itu ada kegiatan Pramuka keliling untuk mencari tanaman herbal. Nahasnya, Zie jatuh akibat terpleset. Kami membawa ke klinik, panggil neneknya, dan ditanya mau diinfus atau pulang, Zie jawab pulang saja,” ungkap Lesma.
Namun, penjelasan guru lain, Sri Handayani, menimbulkan tanda tanya publik. Ia mengaku tidak mengetahui persis bagaimana Zie jatuh dan memilih tidak berspekulasi. “Kalau kejadiannya seperti apa kami tidak tahu, entah kepleset atau jatuh, supaya tidak salah ngomong,” ujarnya.
Pernyataan pembina kegiatan, Edi Susanto, menegaskan kurangnya pengawasan. Ia mengatakan lokasi kejadian jauh dari pos pengawasan, sehingga sulit untuk memantau siswa. “Jatuhnya jauh dari pantauan, jadi kelihatan kalau anak-anak bergerak tanpa kontrol,” jelas Edi.
Ibu korban, Nia, menyatakan bahwa ia sudah berulang kali memperingatkan sekolah agar Zie tidak diikutsertakan karena kondisi kesehatannya yang tidak stabil. “Saya sudah bilang berulang kali, tolong anak saya jangan ikut kegiatan di luar. Tapi tetap diikutkan,” tegas Nia. Ia juga menyoroti sikap guru yang menerima pesan peringatan, namun mengalihkan tanggung jawab karena kegiatan lain.
Kesaksian teman satu regu Zie menguatkan dugaan kelalaian. Mereka sempat melaporkan kondisi korban kepada guru saat kejadian berlangsung, namun respons yang diberikan terkesan lamban. “Kami sudah bilang Zie jatuh, tapi gurunya hanya bilang ‘sebentar’ dan tetap menulis nilai,” ungkap salah satu teman.
Keluarga semakin kecewa karena informasi awal dari klinik kesehatan minim dan dianggap menutupi fakta sebenarnya. Nenek Zie mengaku diberi penjelasan bahwa anaknya “terpleset karena lemas,” padahal kondisi korban memburuk dan nyawanya akhirnya tak tertolong sehari kemudian di Rumah Sakit Mitra Husada.
Kematian Zie memicu gelombang kritik publik. Warganet menilai keterbukaan sejak awal dapat mempercepat penanganan medis dan mencegah tragedi serupa. “Kalau sekolah jujur sejak awal, penanganan bisa lebih cepat. Ini bukan insiden biasa,” tulis salah satu warganet.
Keluarga menuntut penjelasan terbuka dan pertanggungjawaban dari pihak sekolah, pembina pramuka, dan Dinas Pendidikan setempat. Mereka berharap kasus ini menjadi pelajaran penting terkait standar keselamatan anak dalam setiap kegiatan sekolah.
“Ini tragedi yang harus menjadi perhatian serius. Kami ingin keadilan. Guru dan kepala sekolah yang tidak jujur agar mendapat sanksi tegas. Jangan sampai ada lagi anak-anak menjadi korban kelalaian,” ujar Nia, sambil menegaskan bahwa koordinasi dengan pengacara sedang dilakukan untuk langkah hukum selanjutnya.
Peristiwa ini kembali menegaskan pentingnya penerapan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menekankan kewajiban pendidik menciptakan suasana belajar yang aman, nyaman, dan menyenangkan. Keluarga korban berharap tragedi ini tidak hanya menjadi sorotan media, tetapi juga memicu reformasi nyata terkait keselamatan anak di lingkungan sekolah.***

