DJADIN MEDIA — Tawa, air mata, dan bait-bait puisi menyatu dalam perayaan ulang tahun ke-67 Isbedy Stiawan ZS, yang akrab dijuluki Paus Sastra Lampung. Perayaan sederhana namun penuh makna ini berlangsung di kediaman sahabatnya, Merkurius, di Gang Nusa Indah, SKB Kota Alam, Kotabumi, Lampung Utara.
Perayaan ini dirancang secara spontan oleh Merkurius, mantan Sekretaris KPU Tulang Bawang Barat dan mantan Camat Pagar Dewa. Bahkan, keluarga besar Isbedy pun tak luput dari kejutan: Dzafira Adelia Putri, putri bungsu Isbedy, bersama sang istri Fitri Angraini, membawa kue tart bertuliskan angka 67 — simbol usia dan perjalanan panjang sang penyair.
“Saya benar-benar haru,” kata Isbedy sambil menahan air mata. Ia tak menyangka hari ulang tahunnya akan dirayakan dengan begitu hangat dan penuh cinta.
Lahir di Rawa Subur, Tanjungkarang, pada 5 Juni 1958, dari pasangan Zakirin Sener dan Ratminah, Isbedy tumbuh dalam kerasnya hidup. Namun justru dari kehidupan itu, puisi dan seni menjadi tempatnya berteduh. Ia mulai menulis sejak remaja, bahkan telah aktif di dunia teater sejak kelas 3 SLTA.
Acara perayaan pun makin semarak dengan hadirnya orgen tunggal dari Tri-D Korg pimpinan Syahrudin — sahabat dekat Isbedy dari Bandar Putih, Lampung Utara. Suasana keakraban terpancar ketika keluarga besar turut menyumbangkan lagu dan menyatu dalam nuansa syahdu dan nostalgia.
Dalam sambutannya, Merkurius yang akrab disapa Bung Yus menyampaikan harapan agar Isbedy terus berkarya dan tetap menjadi inspirasi bagi generasi muda, khususnya melalui Lamban Sastra, rumah kreatif yang menjadi wadah pembinaan sastra di Lampung.
Puncak keharuan malam itu terjadi saat Isbedy membacakan puisi karyanya berjudul “Nikmati Saja Jejak Gerimis”, yang dimuat di Erakini.id tepat di hari ulang tahunnya. Puisi tersebut menggambarkan perenungan dan keteguhan hati dalam menghadapi luka dan kenangan, sebuah refleksi kehidupan yang ia jalani sebagai penyair.
“Karena laut mengajarkan badai, maka aku setia berlayar,” ujar Isbedy, mengutip puisinya sebagai filosofi hidup yang ia pegang hingga hari ini.
Ia juga menyampaikan rasa terima kasih mendalam kepada istri dan anaknya yang selalu menjadi penguat dalam perjalanan sunyi sebagai sastrawan.
Perayaan ulang tahun ini bukan sekadar seremonial, tetapi menjadi simbol cinta, penghormatan, dan perjalanan panjang seorang sastrawan yang telah mempersembahkan puluhan tahun hidupnya untuk puisi dan sastra Indonesia.***