DJADIN MEDIA– Polemik keberadaan SMA Swasta Siger di Bandar Lampung kian panas. Sekolah yang disebut-sebut beroperasi tanpa izin resmi ini menuai sorotan tajam dari publik. Bahkan, ancaman jerat hukum kini mengintai pihak yayasan, kepala sekolah, hingga para guru. Pasalnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara tegas menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan tanpa izin dari pemerintah maupun pemerintah daerah dapat dikenakan sanksi pidana hingga 10 tahun penjara dan/atau denda sebesar Rp1 miliar.
UU yang disahkan pada 8 Juli 2003 oleh Presiden ke-5 Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri itu menjadi landasan hukum mutlak bagi dunia pendidikan di Indonesia. Artinya, setiap sekolah wajib memiliki izin penyelenggaraan pendidikan, terdaftar dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik), serta memenuhi standar kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Jika tidak, maka sekolah tersebut secara hukum dianggap ilegal.
SMA Swasta Siger kini dipandang sebagai sekolah liar. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung, Thomas Amirico, menegaskan bahwa sekolah tersebut tidak memiliki administrasi perizinan lengkap. Lebih fatal lagi, sekolah itu tidak terdaftar dalam sistem Dapodik. Akibatnya, puluhan bahkan ratusan siswa yang sudah bersekolah di sana terancam masa depan mereka. Tanpa legalitas administrasi, ijazah yang diterbitkan bisa dinyatakan tidak sah.
“Ini bukan hanya persoalan administratif, tapi menyangkut nasib generasi muda. Jika tidak segera ditindak, ratusan siswa bisa kehilangan hak atas pendidikan formal yang sah,” ujar Thomas dalam keterangannya pada Jumat, 9 September 2025.
Namun yang mengejutkan, meski statusnya disebut ilegal, SMA Siger tetap beroperasi. Bahkan, sekolah ini disebut mendapat inisiasi langsung dari Pemerintah Kota Bandar Lampung. Nama Wali Kota Eva Dwiana pun terseret dalam pusaran kontroversi. Publik menjuluki kebijakan yang mendukung keberadaan sekolah tersebut sebagai “The Killer Policy”, sebuah sindiran pedas terhadap kebijakan yang dianggap membunuh masa depan anak bangsa.
Kehadiran sekolah tanpa izin ini memicu pertanyaan besar: siapa yang akan berani menindak tegas yayasan, kepala sekolah, dan guru yang terlibat? Apakah aparat penegak hukum akan benar-benar bergerak, atau kasus ini hanya akan berakhir sebagai polemik tanpa kepastian?
Praktisi hukum menilai, jika terbukti melanggar UU Sisdiknas, para pihak yang terlibat dapat dijerat pidana serius. Ketua yayasan sebagai penyelenggara utama berpotensi menghadapi ancaman penjara 10 tahun. Kepala sekolah yang menjalankan operasional tanpa izin resmi juga tidak bisa lepas dari jeratan hukum. Bahkan, guru yang mengetahui kondisi ilegal tersebut namun tetap terlibat dalam proses belajar mengajar bisa dianggap turut serta.
Masyarakat kini menanti keberanian aparat penegak hukum untuk menindak. Transparansi pemerintah daerah juga dipertanyakan: mengapa sekolah ilegal bisa berdiri dan beroperasi cukup lama tanpa ada langkah tegas?
Jika kasus SMA Swasta Siger dibiarkan, bukan hanya ratusan siswa yang menjadi korban, melainkan juga citra dunia pendidikan di Lampung akan tercoreng. Publik menuntut kejelasan, apakah hukum akan ditegakkan secara adil ataukah ada kompromi politik yang justru merugikan anak-anak bangsa.***