DJADIN MEDIA– Lonjakan harga beras yang terus terjadi dalam beberapa bulan terakhir menjadi sorotan serius Gerakan Kebangkitan Petani Indonesia (Gerbang Tani). Organisasi petani nasional ini menegaskan bahwa kenaikan harga beras tidak otomatis menguntungkan petani, justru kelompok petani kecil dan masyarakat miskin yang paling merasakan dampaknya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Juli 2025 menunjukkan kenaikan harga beras medium sebesar 3,07 persen secara bulanan dan 5,96 persen secara tahunan. Di tingkat grosir, harga beras naik 1,59 persen, sementara di tingkat eceran mengalami kenaikan 1,35 persen dalam sebulan terakhir. Lonjakan harga ini, menurut Gerbang Tani, tidak mencerminkan kesejahteraan petani secara merata, karena mayoritas petani adalah petani gurem dengan lahan di bawah 0,5 hektare.
Ketua Umum Gerbang Tani Indonesia, Idham Arsyad, menjelaskan bahwa petani gurem seringkali menjadi konsumen beras, bukan penjual utama. Mereka terpaksa menjual gabah dengan harga rendah saat panen raya karena tidak memiliki fasilitas penyimpanan atau pengering. Sementara itu, kebutuhan hidup sehari-hari tetap harus dibeli dengan harga yang tinggi. “Petani tidak otomatis untung saat harga beras naik. Mereka justru dirugikan karena tidak memiliki akses langsung ke pasar dan infrastruktur penunjang,” ujarnya.
Dampak kenaikan harga beras juga dirasakan langsung oleh masyarakat miskin. Beras merupakan komponen utama dalam konsumsi rumah tangga miskin, sehingga kenaikan harga dapat mendorong angka kemiskinan dan kerawanan pangan meningkat. Gerbang Tani menekankan bahwa situasi ini bisa memicu krisis sosial jika tidak segera diantisipasi melalui kebijakan yang tepat sasaran.
Untuk itu, Gerbang Tani menyampaikan sejumlah desakan kebijakan kepada pemerintah. Dalam jangka pendek, beberapa langkah yang harus segera dilakukan antara lain: revisi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah agar mencerminkan biaya produksi riil; penguatan operasi pasar untuk memastikan distribusi beras murah tepat sasaran; serta pembangunan fasilitas pengering dan gudang di sentra produksi agar petani bisa menjual hasil panennya dengan harga lebih baik.
Selain itu, Idham Arsyad menekankan pentingnya kebijakan jangka panjang. Menurutnya, modernisasi pertanian rakyat menjadi kunci, termasuk subsidi pupuk, akses terhadap alat dan mesin pertanian, serta pelatihan bagi petani. Pembangunan kawasan pangan berbasis koperasi tani atau BUMDes juga diperlukan untuk memperpendek rantai pasok dan meningkatkan daya tawar petani. Kebijakan ini harus melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga keuangan, dan sektor swasta yang mendukung pertanian rakyat.
“Petani tidak butuh belas kasihan. Petani butuh keadilan harga, akses pasar, dan perlindungan nyata dari negara,” tegas Idham. Gerbang Tani menekankan pentingnya harga dasar yang adil bagi petani serta harga maksimum yang terjangkau bagi konsumen. Pemantauan rantai distribusi juga diperlukan agar tidak ada pihak yang mengambil keuntungan secara tidak wajar di tengah lonjakan harga.
Selain itu, Gerbang Tani menyarankan pengembangan sistem pertanian berkelanjutan yang memperhatikan efisiensi produksi, pengelolaan lahan, dan konservasi lingkungan. Dengan langkah ini, sektor pangan nasional bisa lebih stabil, petani lebih sejahtera, dan masyarakat miskin tetap mampu memenuhi kebutuhan pangan dasar mereka. Organisasi ini juga mendorong penguatan kelembagaan petani melalui koperasi dan kelompok tani agar memiliki posisi tawar yang lebih kuat di pasar.
Gerbang Tani menegaskan bahwa keberlanjutan sektor pangan bergantung pada keseimbangan antara produksi yang sehat, distribusi yang adil, dan konsumsi yang terjangkau. Kebijakan pemerintah harus mampu memastikan stabilitas harga tanpa merugikan petani kecil dan masyarakat miskin, serta mendorong sistem pertanian yang adil dan berkelanjutan di seluruh Indonesia.***