DJADIN MEDIA – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diminta untuk lebih tegas dan berani dalam menegakkan netralitas TNI/Polri pada Pilkada Serentak 2024. Hal ini menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengeluarkan Putusan Nomor 136/PUU-XXII/2024, yang memberikan sinyal kuat bahwa pejabat daerah, serta anggota TNI dan Polri, bisa dikenakan sanksi pidana jika melanggar ketentuan netralitas sesuai dengan Undang-Undang Pilkada.
“Putusan MK ini harus menjadi peringatan dini bagi pejabat daerah dan anggota TNI/Polri. Bawaslu harus bisa menindaklanjuti putusan ini dengan tegas,”** ujar Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, saat dimintai keterangan. Ia menekankan pentingnya peran Bawaslu sebagai lembaga penegak hukum utama dalam pengawasan Pilkada.
Neni menambahkan bahwa Bawaslu tidak hanya berfokus pada pemetaan potensi kerawanan dan pengumpulan data terkait ketidaknetralan pejabat daerah serta anggota TNI/Polri, tetapi juga harus memastikan bahwa proses penegakan hukum menjadi prioritas. “Putusan MK yang progresif harus diikuti dengan langkah-langkah progresif pula dari Bawaslu untuk menuntaskan berbagai kasus yang ada,” ujarnya.
Perubahan UU Pilkada Berdasarkan Putusan MK
Putusan MK yang dibacakan pada Kamis, 14 November 2024, mengubah norma dalam Pasal 188 UU Pilkada. Dalam perubahan tersebut, kini pejabat daerah, anggota TNI, Polri, serta kepala desa dan lurah, jika terbukti melanggar ketentuan netralitas, dapat dikenai sanksi pidana dengan hukuman penjara antara satu bulan hingga enam bulan, dan/atau denda antara Rp600 ribu hingga Rp6 juta.
Putusan ini memberikan dasar hukum yang lebih kuat bagi Bawaslu untuk bertindak tegas dalam mengawasi dan menindak pelanggaran netralitas di Pilkada 2024, sehingga diharapkan dapat mencegah keterlibatan aparat negara dalam politik praktis.***