NGAKAK POLITIK
DJADIN MEDIA– Di tengah lonjakan harga batubara yang terbang tinggi hingga 6,83%, tiga nama besar negeri ini justru seolah “menghilang dari radar”. Netizen bertanya-tanya: ke mana Presiden Gemoy ke-2, Sang Opung Rakyat, dan Bapak Seribu Jabatan?
Apakah mereka sedang menikmati panorama bulan dengan kopi susu dan laporan laba tambang di tangan? Entahlah. Tapi yang jelas, saat harga batubara makin “hot”, panasnya isu ketimpangan dan konflik kepentingan juga makin terasa.
Bisnis yang Tersembunyi di Balik Rapat-Rapat Elite
Kenaikan harga batubara ini mungkin jadi berkah bagi segelintir elite yang lihai bermain di dua dunia: dunia jabatan dan dunia tambang. Sementara rakyat kebanyakan sibuk bertahan hidup, sebagian pemimpin kita justru seakan tenggelam dalam euforia keuntungan.
“Rangkap jabatan bukan dosa—selama nggak merugikan rakyat. Tapi kalau rangkap untung dan rangkap pengaruh? Hmm… kita bertanya-tanya untuk siapa sistem ini diciptakan?”
Dari Hutan Gundul Sampai Neraca Untung
Pertanyaan klasik kembali muncul: kenapa lahan hutan terus dibuka, tambang makin luas, tapi kesejahteraan rakyat tetap stagnan?
Mungkin jawabannya ada di balik slogan dan senyum-senyum saat konferensi pers: “Ini demi pembangunan”. Tapi publik tahu, pembangunan seperti apa yang diam-diam menggerus akar sosial dan ekologi kita.
Netizen, Waktunya Buka Mata
Lagi-lagi, masyarakat ditantang untuk tidak apatis dan mulai kritis. Sebab narasi “demi rakyat” kadang hanya topeng dari aksi bancakan elite yang dikemas manis. Seperti minyak goreng curah yang dikira subsidi, padahal lebih langka dari sinyal di pegunungan.
“Kita perlu lebih dari sekadar ngetweet dan bikin meme. Kita perlu sadar bahwa sistem ini tidak netral—ia cenderung memihak mereka yang lebih kuat dan lebih terhubung.”
Penutup: Negeri di Mana Kritik Dianggap Lelucon
Selamat datang di negeri para peri yang lebih suka berdiplomasi dengan bisik-bisik di balik panggung pesta kekuasaan. Di negeri ini, budi pekerti kalah oleh budi daya korupsi, dan suara rakyat kalah oleh suara tambang.
Sementara batubara terus naik dan pembakaran terus terjadi, kita disuruh diam sambil menonton para elite menikmati panorama “bulan” dari balkon kekuasaan.***