DJADIN MEDIA– Di bawah langit Jakarta yang mendung, 200.000 buruh berkumpul di Lapangan Monumen Nasional (Monas), mereka seperti lautan manusia yang bersemangat, mengepalkan tangan ke udara dengan penuh harapan. Bukan sekadar peringatan tahunan, hari itu menjadi momen bagi buruh untuk menyuarakan janji-janji yang telah lama ditunda.
Pada pukul 10.00 WIB, Presiden Prabowo Subianto berdiri tegak di podium, membelah keramaian dengan suara tegasnya. “Hari ini, saya memberikan hadiah untuk kaum buruh Indonesia,” ucapnya, mengumumkan pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional yang akan meninjau 86 regulasi ketenagakerjaan yang dianggap tidak adil. Prabowo memastikan bahwa setiap undang-undang yang merugikan buruh akan diperbaiki.
Sorak-sorai menggema, dan yel-yel yang dipandu oleh artis Raffi Ahmad mengguncang Monas, “Buruh bersatu!” disambut seruan lantang dari massa, “Bela negara!” Teriakan itu tidak sekadar euforia sesaat, melainkan sebuah jeritan panjang yang mencerminkan perjuangan yang belum selesai.
Namun, di balik sorakan itu, angka-angka suram berbicara keras. 680.245 buruh di-PHK pada 2023, sebagian besar berasal dari sektor manufaktur dan ritel. Di balik statistik ini, ada keluarga yang kehilangan nafkah, anak-anak yang terpaksa berhenti sekolah, dan masa depan yang hancur. Prabowo berjanji, “Kita tidak akan membiarkan pekerja di-PHK seenaknya. Negara akan turun tangan jika perlu.”
Masalah outsourcing menjadi topik yang tak bisa dielakkan. Dengan 19,5 juta pekerja yang masih bekerja dengan kontrak tidak menentu, Prabowo menyatakan, “Saya mendukung penuh penghapusan outsourcing secara bertahap.” Janji itu, jika benar terealisasi, akan menjadi langkah besar dalam memperbaiki kesejahteraan buruh Indonesia.
Tak hanya itu, perhatian juga diberikan pada pekerja rumah tangga, mayoritas perempuan, yang selama ini hanya menjadi angka dalam statistik. Prabowo memastikan bahwa RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga akan segera dibahas di DPR dan berharap dapat disahkan dalam waktu tiga bulan.
Prabowo juga memberi penghormatan kepada Marsinah, seorang buruh wanita yang dibunuh karena memperjuangkan hak-haknya. “Saya mendukung penuh agar Marsinah dijadikan Pahlawan Nasional,” ujar Prabowo, sebuah penghormatan yang menunjukkan bahwa perjuangan buruh bukan hanya tentang upah, tetapi tentang harga diri dan pengorbanan.
Namun, ada luka tersembunyi yang lebih dalam. Diskriminasi usia kerja menjadi masalah lain yang merundung buruh berpengalaman, terutama mereka yang berusia di atas 35 tahun dan kini menganggur. 2,8 juta dari mereka terabaikan, terpaksa bekerja di sektor informal, yang kini mencapai lebih dari 78 juta orang—60% dari angkatan kerja nasional. Negara kehilangan 2,5% PDB setiap tahun karena mengabaikan potensi buruh berpengalaman ini.
Acara peringatan tersebut tidak hanya menjadi perhatian nasional, tetapi juga mendapat pujian internasional. Pemerintah Tiongkok memuji langkah Prabowo sebagai model stabilitas sosial, sementara Amerika Serikat menilai acara ini sebagai kemajuan demokrasi Indonesia yang membuka dialog dengan serikat pekerja.
Saat Internasionale dinyanyikan, suara buruh yang serak menggema, seolah mengingatkan kembali kata-kata Bung Karno: “Kaum buruh harus menjadi motor penggerak revolusi!” Hari itu, di Monas, sejarah kembali mengingatkan bahwa janji yang tak ditepati adalah utang yang harus dibayar.***
