DJADIN MEDIA– Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) telah menyampaikan tiga agenda strategis kepada Prabowo Subianto, presiden terpilih untuk periode 2024-2029. Tiga agenda tersebut dianggap krusial untuk diterapkan dalam lima tahun ke depan.
Anggota DPR dari Fraksi PDIP, Said Abdullah, menjelaskan bahwa agenda pertama adalah menurunkan tingkat kemiskinan dan kesenjangan sosial. Ia menyoroti bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, laju penurunan kemiskinan dan kesenjangan sosial masih belum memadai.
“Pada 2014, tingkat kemiskinan mencapai 10,96%, dan pada Maret 2024, angka ini menurun menjadi 9,03%. Dalam sepuluh tahun, penurunan ini hanya 1,93%. Kita juga menghadapi penurunan jumlah kelas menengah yang mencapai 9 juta jiwa,” ujar Said saat ditemui oleh wartawan.
Said juga mencatat bahwa rasio gini, yang mengukur kesenjangan sosial, mengalami penurunan dari 0,414 pada 2014 menjadi 0,379 pada Maret 2024. Ia menggarisbawahi pentingnya agenda ini bagi setiap pemerintahan, termasuk untuk Prabowo-Gibran.
“Presiden Prabowo perlu fokus untuk lebih progresif dalam menurunkan tingkat kemiskinan dan kesenjangan sosial. Ini memerlukan orkestrasi kebijakan yang komprehensif, mulai dari pendidikan, kesehatan, bantuan sosial, sanitasi, perumahan, hingga penciptaan lapangan kerja,” imbuhnya.
Agenda kedua yang disampaikan adalah perbaikan sumber daya manusia, khususnya di sektor pendidikan. Said menekankan bahwa dari 149 juta angkatan kerja Indonesia, sebanyak 54% hanya memiliki pendidikan hingga SMP atau lebih rendah. Hal ini menjadi tantangan, mengingat sudah ada kebijakan anggaran pendidikan mandatori sebesar 20% dari APBN sejak 2003.
“Akibatnya, kita tidak bisa mengoptimalkan bonus demografi untuk mendorong lompatan perekonomian nasional. Ini menjadi salah satu tantangan Prabowo-Gibran ke depannya,” jelasnya.
Agenda ketiga adalah mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor pangan dan energi. Menurut Said, hal ini penting untuk memastikan ketahanan dan kemandirian negara. Ia menjelaskan bahwa selama periode 2014-2023, defisit perdagangan internasional di sektor pertanian sangat signifikan.
“Ekspor sektor pertanian kita mencapai US$ 61,4 miliar, sementara impor mencapai US$ 98,46 miliar, sehingga defisitnya mencapai US$ 37 miliar. Dengan kurs Rp 15.400, nilai impor hasil pertanian kita mencapai Rp 569,8 triliun,” ungkap Said.
Selain itu, ia menyoroti bahwa impor migas selama periode yang sama mencapai angka fantastis, yakni US$ 278,5 miliar. Dengan kurs yang sama, nilai impor migas dalam sembilan tahun terakhir mencapai Rp 4.288,9 triliun.
“Menghadapi persoalan ini tidak mudah, karena melibatkan berbagai kepentingan ekonomi politik nasional dan internasional. Ini akan menjadi tantangan utama bagi Presiden Prabowo ke depan. Selamat bekerja, Presiden Prabowo,” pungkas Said.***