DJADIN MEDIA – Pengamat politik Ray Rangkuti mengkritik penegak hukum yang dianggap terlalu lembek dalam menangani indikasi korupsi yang melibatkan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi), pasca-ditetapkannya Jokowi sebagai salah satu tokoh terkorup dunia oleh Organisasi Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP). Menurut Ray, sikap pasif ini semakin memperburuk citra lembaga penegak hukum di Indonesia, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang belum menunjukkan langkah konkrit meski sudah ada sejumlah laporan.
Ray mengungkapkan kekesalannya terhadap KPK yang masih menghindar dengan alasan belum ada laporan terkait dugaan korupsi tersebut. “Kasus korupsi tidak perlu menunggu laporan. Aneh bukan?” ujar Ray, mengkritik ketidaktegasan lembaga antikorupsi itu. Kritik tersebut muncul lantaran beberapa individu dan kelompok sebelumnya sudah melaporkan dugaan keterlibatan anak-anak Jokowi dalam praktik korupsi, namun tidak ada tindak lanjut yang jelas dari pihak KPK.
Selain itu, Ray menyoroti maraknya tulisan ‘Adili Jokowi’ yang muncul di dinding-dinding Jakarta sebagai bentuk protes terhadap lambannya respon dari aparat penegak hukum. Menurutnya, hal ini menunjukkan kekecewaan publik terhadap penegakan hukum yang terkesan tidak adil dan bias. Ray juga menilai bahwa situasi ini menciptakan pesimisme di kalangan masyarakat terkait independensi dan kredibilitas KPK dalam memberantas korupsi.
Tulisan ‘Adili Jokowi’ yang tersebar luas di ibukota, lanjut Ray, tidak bisa dilepaskan dari laporan OCCRP yang menyebutkan Jokowi sebagai salah satu tokoh terkorup dunia. Laporan tersebut memperkuat persepsi sebagian besar masyarakat Indonesia bahwa korupsi masih merajalela, bahkan melibatkan pejabat tinggi negara. Meski demikian, Ray mengaku tidak mengetahui siapa yang mendalangi aksi tersebut, namun ia menegaskan bahwa hal ini mencerminkan semakin tingginya ketidakpercayaan terhadap sistem hukum di Indonesia.
Terkait dengan dugaan kesalahan Jokowi, Ray menyatakan bahwa secara hukum, hanya penyidik yang berwenang untuk menentukan apakah ada bukti pelanggaran. Namun secara politik, ia menyebutkan beberapa isu yang patut menjadi perhatian, seperti kemerosotan perlindungan hak asasi manusia, penurunan kebebasan berpendapat, dan kemunduran dalam pemberantasan korupsi. Selain itu, ia juga mencatat isu kerusakan lingkungan hidup dan keputusan pemerintah yang memberi status Proyek Strategis Nasional (PSN) pada PIK 2, yang menurutnya dapat memicu kontroversi.
Salah satu fenomena yang dianggap paling mencolok dalam pemerintahan Jokowi, menurut Ray, adalah penerapan politik dinasti yang dinilai telah merusak tatanan demokrasi Indonesia. Ray menilai bahwa hal ini merupakan salah satu contoh kongkret bagaimana kekuasaan digunakan untuk membangun pengaruh politik yang berjangka panjang, yang berpotensi merugikan kepentingan rakyat.
Kritikan ini seakan menggambarkan kekecewaan Ray Rangkuti terhadap sistem hukum dan pemerintahan yang dinilai tidak mampu memberikan keadilan yang seharusnya diterima masyarakat. Dalam pandangan Ray, tanpa adanya tindakan tegas dari KPK, kepercayaan publik terhadap penegak hukum akan semakin menurun.***