DJADIN MEDIA– Surat Keterangan Pengganti Ijazah (SKPI) yang diajukan oleh calon bupati Pesawaran, Aries Sandi, dalam proses pendaftaran Pilkada Pesawaran 2024 menuai kontroversi. SKPI tersebut tidak mencantumkan informasi mengenai asal daerah sekolah tempat Aries Sandi mengikuti ujian Paket C.
Dalam dokumen tersebut, tercantum hanya tulisan “SMA Negeri 1” tanpa menyebutkan lokasi atau alamat lengkap sekolah yang dimaksud. Selain itu, SKPI yang diajukan Aries Sandi juga tidak mencantumkan nomor induk siswa (NIS) atau nomor ijazah, yang seharusnya menjadi bagian penting dalam dokumen tersebut.
Kontroversi Laporan Kehilangan Ijazah
Lebih lanjut, kontroversi semakin berkembang setelah diketahui bahwa laporan kehilangan ijazah yang menjadi dasar penerbitan SKPI ini dibuat di Polresta Bandar Lampung pada 16 Juli 2018. Namun, yang melapor bukan Aries Sandi secara langsung, melainkan melalui kerabatnya, Edi Natamenggala. Hal ini menambah kecurigaan publik terkait keabsahan dokumen yang digunakan oleh Aries Sandi dalam proses pendaftaran Pilkada.
Debat Perdana Pilgub Sulsel Diwarnai Insiden Pelemparan Batu kepada Cagub Danny Pomanto
Pihak masyarakat Kabupaten Pesawaran, yang merasa ada kejanggalan, kemudian melaporkan masalah ini ke Polda Lampung. Gabungan LSM se-Kabupaten Pesawaran telah menyampaikan laporan mereka terkait dugaan penyalahgunaan dokumen yang diduga mengandung keterangan palsu.
Tindak Pidana Pilkada Diduga Terjadi
Ketua Trinusa Provinsi Lampung, Karna Wijaya, menyatakan bahwa pihaknya telah menerima laporan terkait dugaan pemalsuan dokumen ini dan sedang menelusuri lebih lanjut untuk mencari benang merah dari masalah ini. “Kami sudah melaporkan pengaduan masyarakat terkait dokumen yang kami duga bermasalah, dan kami akan menindaklanjutinya,” ujarnya.
Cagub Arinal Djunaidi Yakin Dapatkan Dukungan Tinggi di Kota Metro
Randy Septian, salah satu pelapor, menambahkan bahwa mereka berencana untuk melanjutkan perkara ini ke ranah pidana Pilkada. Dugaan pelanggaran tersebut merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang menyatakan bahwa setiap orang yang sengaja menghilangkan hak atau meloloskan calon yang tidak memenuhi syarat dapat dikenai pidana penjara dengan hukuman minimal 36 bulan dan maksimal 96 bulan. “Ini adalah dugaan pelanggaran yang bisa masuk dalam tindak pidana Pilkada,” tegas Randy.***