DJADIN MEDIA – Kontroversi mewarnai Pilkada Jakarta 2024 setelah tim pemenangan RK-Suswono mengimbau saksi mereka untuk tidak menandatangani berita acara hasil rekapitulasi suara. Hal ini mengindikasikan bahwa tim RK-Suswono seakan tak siap menerima hasil, mengingat mereka mendesak dilaksanakannya Pemungutan Suara Ulang (PSU) di beberapa wilayah.
Sekretaris tim pemenangan RIDO, Basri Baco, mengungkapkan bahwa instruksi tersebut diberikan di kecamatan-kecamatan yang mereka anggap terjadi kecurangan. “Kami merasa ada ketidakpuasan dan kecurigaan di beberapa kecamatan, maka kami arahkan saksi untuk tidak menandatangani berita acara tersebut,” jelas Basri, meski ia enggan merinci lokasi-lokasi yang dimaksud.
Selain itu, Basri juga menyoroti masalah distribusi formulir C-6, yang menurutnya bermasalah di banyak titik. Hal ini menyebabkan angka partisipasi pemilih menjadi rendah. “Kami telah mengidentifikasi banyak titik dengan masalah dalam pembagian formulir C-6, yang berpotensi merugikan partisipasi pemilih,” tambahnya. Ia mengklaim telah menerima sejumlah laporan dari masyarakat yang telah mengadu ke Bawaslu.
Pilkada Jakarta 2024 yang digelar pada Rabu (27/11) lalu, memperlihatkan persaingan sengit antara pasangan RK-Suswono dan Pramono Anung-Rano Karno. Menurut data internal RIDO yang mencatatkan 99,99% suara masuk, pasangan RK-Suswono berada di posisi kedua dengan 1.748.714 suara (40,17%), sementara Pramono-Rano berada di posisi pertama dengan 2.145.494 suara (49,28%).
Namun, Pramono-Rano telah mendeklarasikan kemenangan mereka di putaran pertama, dengan hasil rekapitulasi internal yang menunjukkan perolehan suara 2.183.577 suara (50,07%).
Basri menilai KPU tidak profesional dalam penyelenggaraan pilkada, terutama terkait dengan masalah distribusi formulir C-6. “Penyelenggara pilkada tidak becus, tidak profesional, terutama PPS dan KPPS,” tegasnya, menambahkan bahwa masalah tersebut mengurangi hak rakyat untuk memilih calon pemimpin mereka.
Kritikan tajam terhadap KPU terus mengalir, dengan Basri juga menyoroti ketidakakuratan data pemilih yang digunakan dalam proses pilkada.***