DJADIN MEDIA – Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal kembali menjadi sorotan publik usai pernyataannya yang dianggap “bermain api” di tengah rencana aksi massa mahasiswa pada 1 September 2025. Ucapan RMD dinilai tidak pantas dan justru berpotensi menyeret persoalan hukum baru, terutama terkait dukungannya terhadap keberadaan SMA Swasta Ilegal bernama Siger.
Dalam sebuah pernyataan yang tersebar luas melalui grup WhatsApp pada Minggu (31/8/2025), RMD menyampaikan dukungannya terhadap mahasiswa. “Kami dukung yang menjadi semangat adik-adik mahasiswa dalam menyuarakan aspirasinya. Dan saya tahu sejak dulu mahasiswa Lampung adalah generasi baik, tidak anarkis, dan selalu menjaga ketertiban,” kata Rahmat Mirzani.
Sekilas, pernyataan itu tampak manis. Namun jika dicermati, publik menilai ucapan tersebut hanya memperlihatkan posisi penguasa yang seolah menuntut rakyat menjaga ketertiban tanpa diimbangi keberpihakan pada persoalan substansial yang menyangkut kepentingan bersama. Kritikus pendidikan menilai ucapan RMD seperti tameng retoris yang menutupi keberpihakan sesungguhnya pada kebijakan kontroversial di sektor pendidikan.
Nama Rahmat Mirzani tidak bisa dilepaskan dari dukungannya terhadap SMA Siger, sebuah sekolah swasta ilegal yang berencana menggunakan APBD Kota Bandar Lampung sebagai sumber pembiayaan. Padahal, kehadiran sekolah tersebut dianggap mengabaikan keberadaan SMA/SMK swasta lain yang selama ini berjuang mandiri tanpa campur tangan pemerintah daerah.
Stakeholder pendidikan menuding RMD bersama Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana, yang belakangan dikenal dengan julukan “The Killer Policy”, tengah menyiapkan skenario yang justru bisa menyuntik mati sekolah-sekolah swasta yang sudah mapan. Dukungan terbuka yang diberikan RMD terhadap SMA Siger semakin menguatkan dugaan bahwa kebijakan ini bukan hanya kontroversial, tetapi juga berpotensi melanggar hukum.
Sebagai Gubernur Lampung, seharusnya RMD menghentikan keberadaan sekolah ilegal tersebut. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: ia memberikan legitimasi politik kepada sebuah lembaga pendidikan masyarakat yang jelas-jelas menyalahi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-undang yang ditandatangani Presiden kelima RI, Megawati Soekarnoputri, pada 8 Juli 2003 itu dengan tegas mengatur larangan penyelenggaraan pendidikan tanpa izin resmi pemerintah. Pasal dalam undang-undang tersebut bahkan menyebutkan ancaman pidana 10 tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar bagi pihak yang terbukti melanggar.
Pertanyaannya kini: apakah Rahmat Mirzani dengan sadar mendukung Eva Dwiana dalam sebuah skema yang justru menyeret banyak pihak ke jerat hukum pidana? Jika SMA Siger benar-benar berjalan, maka bukan hanya yayasan dan kepala sekolah yang terancam, melainkan juga para guru yang mengajar di sana, serta masyarakat yang terlibat.
Lebih jauh, rencana penggunaan gedung bekas terminal tipe C di Kecamatan Panjang, Bandar Lampung, sebagai lokasi SMA Siger memperlihatkan betapa kebijakan ini penuh tanda tanya. Alih fungsi lahan publik tanpa dasar hukum yang jelas hanya akan menambah panjang daftar persoalan tata kelola pemerintahan di Lampung.
Bagi publik, sikap RMD ini bisa menjadi bumerang. Alih-alih memperlihatkan ketegasan seorang pemimpin dalam menjaga aturan hukum, ia justru dinilai membuka celah bagi praktik pendidikan ilegal yang bisa merugikan banyak pihak. Pada akhirnya, kebijakan ini bukan hanya soal pendidikan, tetapi juga mencerminkan wajah politik yang mempertaruhkan masa depan rakyat demi kepentingan sesaat.***