DJADIN MEDIA – Mahkamah Konstitusi (MK) mendapat desakan untuk memperjelas aturan sanksi pidana bagi pejabat daerah dan anggota TNI/Polri yang tidak netral, seperti yang diatur dalam Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Pilkada). Permintaan ini disampaikan oleh konsultan hukum Syukur Destieli Gulo dalam perkara uji materi yang terdaftar dengan Nomor 136/PUU-XXII/2024.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Ruang Sidang Pleno MK, Syukur menekankan pentingnya memasukkan frasa “pejabat daerah” dan “anggota TNI/Polri” ke dalam Pasal 188 UU Nomor 1 Tahun 2015. “Pasal 188 tidak memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil terhadap pemilihan yang demokratis,” ujarnya.
Syukur menjelaskan bahwa Pasal 188 UU Nomor 1 Tahun 2015 tidak sejalan dengan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015. Ia mengungkapkan bahwa kedua pasal tersebut merupakan norma hukum yang saling berhubungan, dengan Pasal 71 sebagai norma hukum primer dan Pasal 188 sebagai norma sekunder.
Norma hukum primer berisi larangan yang menimbulkan akibat hukum jika dilanggar, sementara norma sekunder mencakup ancaman pidana bagi pelanggaran tersebut. Salah satu larangan dalam Pasal 71 ayat (1) menyebutkan bahwa pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala desa dilarang membuat keputusan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.
Namun, Syukur menyoroti ketiadaan frasa “pejabat daerah” dan “anggota TNI/Polri” dalam Pasal 188, yang berpotensi mengakibatkan ketidakpastian hukum dan kesulitan dalam penegakan sanksi. “Tanpa frasa tersebut, pelanggaran oleh pejabat daerah dan anggota TNI/Polri bisa tidak ditindak secara hukum,” tambahnya.
Sebagai solusi, Syukur mengusulkan agar Pasal 188 dirumuskan ulang untuk mencakup frasa tersebut, sehingga berbunyi: “Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala desa yang melanggar ketentuan Pasal 71 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00.”
Syukur juga mengajukan permohonan agar perkara ini menjadi prioritas pemeriksaan di MK, mengingat jadwal kampanye Pilkada 2024 telah dimulai. Sidang perdana dalam Perkara Nomor 136/PUU-XXII/2024 dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arsul Sani, yang memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk menyempurnakan permohonannya.***